Akhmad Sahal,
Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika
Garut News ( Sabtu, 01/02 – 2014 ).
Bagaimana negara mesti bersikap terhadap iman warganya? H Agoes Salim pernah menyoroti soal itu.
Dalam artikelnya, “Kementerian Agama dalam Republik Indonesia” (1951), beliau bertanya apakah negara kita yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa “mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan Tuhan?
Atau keyakinan yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi?”.
Tokoh kebangsaan yang kerap digelari “Orang Tua Besar” itu menjawab begini: “Tentu dan pasti! Sebab, UUD kita, sebagaimana UUD tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan, mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan beragama, asalkan jangan melanggar hak-hak pergaulan orang masing-masing. Jangan melanggar adab kesopanan pihak ramai, tertib keamanan, dan damai.”
Selanjutnya ia menulis: “Kementerian Urusan Agama tetap harus mengingat bahwa sekalipun bangsa kita sebagian besar beragama Islam, akan tetapi negara kita tidak menetapkan agama Islam sebagai agama yang diwajibkan segala rakyat… Bahkan kepada mereka yang meniadakan Tuhan dan yang beragama ketuhanan berbilangan atau berbagai-bagi, tidaklah Tuhan menghendaki kita melakukan paksaan, bahkan tidakpun dibenarkan kita menghadapkan celaan dan cacian.”
Bagi Agoes Salim, kebebasan beragama sifatnya mutlak, dan karena itu harus dilindungi konstitusi.
Ia juga menegaskan Kementerian Agama sebagai lembaga negara yang berperan merawat kebebasan berkeyakinan, termasuk keyakinan warga yang ateis maupun politeis, asal tak mengganggu ketenteraman publik.
Di akhir artikelnya, ia menyebut tugas Kementerian Urusan Agama sebagai mulia karena pada lembaga inilah “bergantung pemeliharaan kesatuan kebangsaan kita”.
Ironisnya, Kementerian Agama kini semakin melenceng dari khitah yang dicanangkan Agoes Salim.
Alih-alih sebagai “pemelihara kesatuan kebangsaan kita”, Menteri Agama Suryadharma Ali justru mendukung intoleransi dan diskriminasi agama.
Dan itu disokong oleh MUI dan ormas seperti FPI dan FUI.
Ada upaya untuk mengubah karakter “negara hukum” NKRI menjadi “NKRI bersyariah.”
Tak jarang upaya tersebut berlindung di balik klaim demokrasi.
Bagi mereka, demokrasi adalah melulu soal suara terbanyak.
Kalau misalnya suara terbanyak menghendaki pelenyapan Syiah dan Ahmadiyah, kenapa tidak?
Tapi, masih layakkah kehendak mayoritas disebut demokrasi kalau disertai pemberangusan kebebasan berkeyakinan minoritas?
Perlu diingat, demokrasi modern bertumpu pada dua pilar: kesetaraan dan kemerdekaan.
Pilar kesetaraan mendasari berkembangnya mekanisme seleksi pemimpin melalui pemilihan umum, sedangkan pilar kemerdekaan menjadi basis bagi ide negara hukum (rechtsaat).
Begitulah, atas dasar kesetaraan, kepemimpinan dalam demokrasi tidak bertolak dari klaim superioritas keturunan seperti aristokrasi, atau klaim mandat keilahian ala teokrasi, melainkan melalui suara terbanyak dalam pemilu.
Pemimpin dalam demokrasi merupakan primus inter pares, yang pertama dari yang setara.
Namun, demokrasi modern juga bertumpu pada prinsip kemerdekaan warga, dalam arti bebas dari kesewenangan dominasi pihak lain.
Kalaupun ia tunduk pada kuasa negara, itu karena ia memberi persetujuan (consent) terhadapnya, melalui kontrak sosial.
Menurut Thomas Hobbes, negara modern lahir dari kontrak antarindividu-individu yang hendak melindungi diri dari situasi “perang semua lawan semua”.
Ini adalah gambaran perang saudara yang murub karena konflik agama di Eropa abad ke-17.
Ketakutan itulah yang mendorong para individu untuk melakukan kontrak sosial untuk bersedia dipimpin oleh kedaulatan absolut ala Leviathan.
Tapi, Sang Leviathan juga bisa menjadi tiran.
Dari situlah pemikir politik semacam Locke, Montesquieu, dan Jefferson merumuskan strategi untuk “mengerangkeng” Leviathan, agar hak individu dalam kontrak sosial terlindungi.
Inilah yang lalu berkembang menjadi sistem kontrol terhadap kekuasaan lewat rule of law, trias politika, dan check and balance, yang semuanya jadi ciri negara hukum.
Asumsinya, negara bukan entitas yang mendahului individu, melainkan sebaliknya: ia muncul karena adanya kontrak antarindividu, demi melindungi kemerdekaan mereka.
Pemerintah tak punya lisensi untuk memberangusnya karena hak tersebut bukan anugerah dari negara, tapi melekat dalam diri tiap manusia.
Walhasil, prinsip kesetaraan dan kemerdekaan adalah dua sisi dari koin demokrasi yang tak bisa saling menafikan.
Dengan begitu, mayoritas tak bisa mengebiri hak minoritas, karena itu sama artinya dengan menafikan sisi demokrasi yang lain, yakni rechstaat.
Memang, ide negara hukum adalah produk tanah Eropa.
Tapi para pendiri Republik ini mengadopsinya, karena hanya dengan negara hukumlah kemerdekaan tiap warga terlindungi, termasuk kemerdekaan berkeyakinan.
Karena itulah Agoes Salim tegas menyatakan, meski negara kita berdasar Ketuhanan yang Maha Esa, warga yang ateis ataupun politeis sekalipun mendapat tempat. *
*) Kolom ini untuk Prof Dawam Rahardjo atas Yap Thiam Hien Award 2013
***** Kolom/artikel Tempo.co