Kamis , 31 Agustus 2017, 01:00 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syukri Wahid *)
Tiada yang berubah pada dirinya, dia tetaplah seperti Ibrahim AS yang dulu, yang dengan tangan kecilnya kala itu berani hancurkan patung-patung berhala.
Dia masih seperti Ibrahim yang dahulu.
Kini dengan tangan rentanya di kala senja, ia letakkan pisau nan tajam pada leher sang anak.
Yah tiada yang berubah padanya, pada rentang usia remaja hingga tua renta dia adalah pencinta sejati hanya pada Allah.
Jika dahulu saat remaja resiko hancurkan berhala berhujung kematian dengan cara di bakar, namun di saat tua menyembelih anak sendiri dia kehilangan anak yang sangat di rindukannya hadir diatas muka bumi ini.
Dia…adalah Ibrahim yang dulu.
Ibrahim yang tak kenal kompromi terhadap godaan.
Dia adalah Ibrahim muda yang terus teriakkan kebenaran, dan disaat tuanya pun demikian.
Oh…dimanakah ku mencari Ibrahim-Ibrahim itu kini, apakah ku mampu teriakkan kebenaran dan memegangnya dahulu disaat muda dan menjadi hilang seiring umur?
Idealis di saat muda menjadi pragmatis di saat tua? Atau idealis sebelum memimpin dan menjadi pragmatis setelah memimpin.
Itulah sebabnya beliau menjadi kekasih Allah SWT, sebab seluruh satuan umurnya adalah cinta dan pengorbanan. Itulah sebabnya inti dari pekerjaan mencintai adalah pengorbanan.
Cerita Ibrahim AS adalah cerita tentang bertemunya cinta dan pengorbanan, bertemunya rindu dan pembuktian, bertemunya iman dan keteguhan.
Lantas bagaimana dengan kita?
*Pegiat sosial politik
********
Republika.co.id