Publik harus menolak rencana Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan hak angket untuk memeriksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Tindakan segelintir anggota DPR yang mengusulkan penggunaan hak angket ini jelas melecehkan hukum dan patut diganjar sanksi setimpal. Mereka tak layak lagi dipilih pada pemilihan umum 2019.
Rencana penggunaan hak angket itu sungguh mengada-ada. Dalam rapat kerja antara Komisi Hukum DPR dan KPK, pertengahan April lalu, beberapa politikus menanyakan kebenaran pengakuan kolega mereka, politikus Partai Hanura, Miryam S. Haryani, ketika diperiksa KPK. Di depan penyidik, Miryam konon mengaku ditekan oleh lima anggota DPR agar memberikan keterangan palsu soal pembagian suap di balik proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik. Kasus korupsi e-KTP yang diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun itu kini sedang disidangkan di pengadilan.
Lima anggota DPR yang disebut menekan Miryam adalah Bambang Soesatyo (Golkar), Desmond Junaedi Mahesa (Gerindra), Sarifuddin Sudding (Hanura), Aziz Syamsudin (Golkar), dan Masinton Pasaribu (PDI Perjuangan). Tak mengherankan, mereka berlimalah yang gencar mencecar pimpinan KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam.
Dengan tindakan itu, secara terang-terangan mereka telah menyalahgunakan kekuasaan sebagai anggota DPR. Apalagi, setelah gagal memaksa KPK menyerahkan rekaman itu, mereka kini berusaha menggalang penggunaan hak angket.
Upaya Bambang Soesatyo cs itu seharusnya ditolak Sidang Paripurna DPR karena tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Menurut Pasal 77 ayat 3 peraturan itu, hak angket adalah hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Mustahil para anggota DPR itu tak paham bahwa penolakan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam tidak memenuhi kriteria tersebut.
Jelas sekali serangan atas KPK ini didesain untuk mengganggu proses hukum yang sedang bergulir dalam kasus korupsi e-KTP. Terlebih KPK sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi melarang Ketua DPR Setya Novanto bepergian ke luar negeri. Nama Setya disebut-sebut sejumlah saksi sebagai aktor paling berpengaruh di balik skandal megakorupsi ini.
Kemarin surat pengajuan hak angket ini dibacakan dalam Sidang Paripurna DPR. Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Golkar, Fraksi Gerindra, dan Fraksi Demokrat sudah menyatakan menolak usul itu. Sikap fraksi-fraksi lain di Senayan seharusnya tak berbeda. Namun penolakan hak angket saja tak cukup. Daftar nama mereka yang mengusulkan hak angket juga harus segera diumumkan kepada publik. Rakyat harus tahu siapa politikus yang aktif merongrong KPK dan menghalangi gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini.
********
Tempo.co