Red: Maman Sudiaman
Asma Nadia
REPUBLIKA.CO.ID, Ustaz Farikh sudah puluhan tahun mengajar remaja masjid mengaji. Selama ini mereka hanya mengangguk setuju mendapat kajian dan penjelasan yang diberikan, lalu menerapkan dalam kehidupan. Alquran dan hadist selalu menjadi rujukan.
Tapi kini ada sumber lain.
“Kata Ustaz, Islam melingkupi segala hal dalam kehidupan, tapi kenapa sekarang katanya nggak boleh mencampur agama dengan politik, ekonomi, pengetahuan, seni budaya, atau hukum?”
“Pak Ustaz bilang Islam agama damai, tapi kenapa banyak kabar aksi kekerasan atas nama Islam?”
“Kok ada yang bilang Alquran bisa kedaluwarsa?”
“Kenapa umat saling menuduh sesat. Padahal Ustadz bilang kita umat yang satu.”
Rupanya anak-anak didiknya mulai membandingkan pemaparan ustaz dengan infomasi yang mereka terima di sosial media. Jika dulu sang ustaz bisa memilih dan memilah mana yang perlu diketahui anak didik, mana yang nanti perlu disampaikan, kini tidak bisa lagi. Berlimpah informasi menyapa anak-anak muda itu dari berbagai arah. Siapa pun, umur berapa pun bisa memperoleh berita tanpa saringan yang terpercaya.
Masalah serupa dialami Pak Kamal, guru pembimbing di sekolah menengah. Tidak mudah memberi nasihat pada siswa di era internet ini, terutama karena contoh dalam masyarakat kadang justru menunjukkan hal berbeda.
“Pak, kenapa kita dipaksa harus sopan santun dalam bertutur kata sedangkan para pejabat bisa berkata kasar. Kenapa kita dilarang berkelahi, nah yang jadi wakil rakyat malah berkelahi.”
“Terus banyak yang bohong, ngomongnya apa, kenyataannya lain!”
Tidak berbeda, pasangan Roni dan Marini juga menghadapi masalah yang sama. Anak-anak terlalu banyak dipengaruhi informasi dari gawai. Belum lagi bahaya pornografi, penipuan, dan pedofilia. Kedua orang tua itu akhirnya memberi batasan pada ananda mereka dalam menggunakan gadget.
Pertama, saat makan bersama keluarga, handphone dan berbagai gawai harus disisihkan. Waktu tersebut sepenuhnya untuk menikmati hidangan dan berbincang masalah keluarga dan sekolah.
Kedua, anak-anak harus memberi tahu password gadget yang dimiliki sehingga orang tua bisa mengakses penuh isinya. Ini bukan hal mudah untuk diterapkan jika anak sudah besar. Kebijakan ini harus diberlakukan sejak awal sebagai syarat mutlak sebelum buah hati dibelikan gadget.
Ketiga, orang tua mengunci kata tertentu dengan mode parent guide sehingga anak-anak tidak bisa mengakses segala hal kecuali yang diizinkan.
Apakah kebijakan ini berhasil? Antara ya dan tidak. Berhasil ketika anak berada dalam pengawasan orang tua, akan tetapi mereka bisa menikmati informasi bebas dengan menggunakan perangkat milik teman-teman yang tidak diawasi orang tua.
Jika pengasuhan dan pendidikan anak diibaratkan sebuah rumah, maka keluarga, sekolah, dan tempat mengaji adalah atap yang melindungi mereka. Akan tetapi seiring demikian deras hujan berita, atap mulai bocor, informasi mulai membasahi anak-anak. Hujan informasi yang terlalu deras lalu mengakibatkan banjir. Tanpa mampu dibendung berbagai info pun masuk dari sela rumah, bawah pintu, dan membasahi seisi tempat tinggal.
Masalahnya tidak semua informasi benar. Banyak juga yang tidak akurat, bahkan menyesatkan (hoax). Beberapa di antaranya termasuk pengetahuan yang belum pantas diketahui atau belum sesuai umur. Kini aneka informasi bisa langsung menyerbu alam pikiran anak tanpa ada filter lagi. Mengkhawatirkan, tentu. Butuh kerja keras semua, orang tua, guru, dan ustadz agar anak-anak kita terlindung dari derasnya informasi.
Atau mereka akan tumbuh dalam tubuh mungil anak-anak, namun kehilangan kemurnian jiwa dan pikiran sebab serangan deras informasi yang belum saatnya mereka terima.
*********
Republika.co.id