Garut News ( Senin, 10/03 – 2014 ).
Pesawat Malaysia Airlines bernomor penerbangan MH370 hilang kontak sejak Sabtu (08-3-2014) pukul 02.40 waktu setempat.
Hilang kontak terjadi kurang lebih dua jam setelah pesawat dengan rute Kuala Lumpur-Beijing itu, lepas landas pukul 00.41 dini hari.
Kasus hilangnya MH370 dinilai janggal.
Pertama, pesawat itu terbang di ketinggian paling aman, sekitar 35.000 kaki.
Kedua, Malaysia Airlines dinilai operator penerbangan baik.
Ketiga, Boeing 777-200 pesawat berdukungan keselamatan terbaik saat ini.
Bagaimana MH370 bisa hilang?
Itu masih misteri.
Namun, hilangnya pesawat dan kemungkinan jatuhnya pesawat, seperti pada MH370, ternyata bukan pertama terjadi.
Kasus serupa pernah menimpa maskapai negara lain, termasuk Indonesia.
“Sebenarnya ada kasus mirip hilangnya Malaysia Airlines ini, yakni Air France (AF447) jatuh di Atlantik dan Adam Air (DHI 574) jatuh di Perairan Majene,” ujar pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo.
“Pesawat tiba-tiba hilang kontak kurang lebih dua jam setelah lepas landas, dan saat terbang di ketinggian sebenarnya paling aman,” ungkap Dudi saat dihubungi oleh Kompas.com, Ahad (09/03-2014).
Pada kasus Adam Air, pesawat lepas landas 1 Januari 2007 pukul 12.55 WIB dari Bandara Juanda, Surabaya, menuju Bandara Sam Ratulangi, Manado.
Namun, pesawat kemudian hilang kontak sejak pukul 15.05 Wita.
Pada kasus Air France, pesawat berangkat dari Bandara Rio de Janeiro-Galeao 31 Mei 2009 pukul 22.29 UTC menuju Bandara Charles de Gaulle, Paris.
Seharusnya, pesawat itu tiba 10 jam 34 menit setelah penerbangan.
Namun, tiga jam enam menit setelah lepas landas, pesawat hilang kontak.
Dalam kasus Adam Air dan Air France, terjadi ternyata kecelakaan pesawat.
Kedua pesawat itu jatuh di lautan.
Dalam kasus Malaysia Airlines, kecelakaan hingga jatuh ke laut masih dianggap skenario terburuk kasus hilang kontak ini.
Menurut Dudi, terdapat dua kemungkinan pesawat bisa hilang kontak pada ketinggian paling aman.
Pertama masalah teknis sulit atawa tak segera dikendalikan pilot.
Kedua adalah sabotase, dalam kasus Malaysia Airlines dikaitkan terorisme.
“Kalau pada Adam Air, seperti kita ketahui terjadi adalah masalah teknis,” kata Dudi.
Bagian pesawat disebut “internal reference system” (IRS) rusak.
Bagian ini seharusnya diganti manajemen maskapai, namun hal itu tak dilakukan.
Kerusakan IRS berdampak pada tak berfungsinya kemudi otomatis.
Akhirnya, pilot tak sadar pesawat miring.
Perubahan kemiringan terjadi satu derajat per detik.
Ketika kemiringan lebih 35 derajat, pesawat tak stabil.
Kemiringan terus berubah hingga mencapai 100 derajat.
Ketika pesawat makin tak stabil, pilot kesulitan membalikkan, dan menstabilkan lagi.
Akhirnya, pesawat pun jatuh ke laut, terbelah dua.
“Kasus Malaysia Airlines ini bisa saja dipicu masalah teknis meski saya tak mengesampingkan unsur sabotase,” ujar Dudi.
Namun, hal itu masih kudu dibuktikan dengan mencari, dan menyelidiki kotak hitam.
Pencarian kotak hitam, Dudi menduga, takkan mudah jika pesawat memang jatuh di lautan.
Pada kasus Adam Air, kotak hitam baru ditemukan setahun kemudian di dasar laut berkedalaman 2.000 meter.
Sementara pada kasus Air France, kotak hitam baru ditemukan pada Mei 2011.
Laporan resmi penyebab kecelakaan baru dirilis 5 Juli 2012.
Penulis | : Yunanto Wiji Utomo |
Editor | : Yunanto Wiji Utomo/ Kompas.com |