Rabu , 09 August 2017, 08:27 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Oleh: Lukman Hakiem*
Setiap memperingati ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan, yang terbayang oleh kita biasanya hanya dua: perjuangan militer, dan perjuangan diplomasi. Hampir-hampir tidak diingat, ada perjuangan yang ketiga, yang tidak kalah pentingnya yaitu “perang uang”.
Perang uang inilah yang oleh pakar sejarah politik, Fachry Ali (2011), disebut “mengontrol mata uang nasional sebagai senjata politik (contol on national currency as a political weapon).
KNI Priangan
Segera sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). 135 orang yang dianggap sebagai pejuang nasional yang terkemuka dilantik oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi anggota KNIP. Para anggota parlemen sementara itu kemudian memilih Mr. Kasman Singodimedjo sebagai Ketua KNIP.
KNIP bekerja cepat. Untuk mengukuhkan dukungan daerah terhadap Proklamasi Kemerdekaan, dibentuklah KNI di berbagai daerah.
Di Priangan, rapat pembentukan KNI dilaksanakan sepekan sesudah Proklamasi Kemerdekaan, yakni pada 24 Agustus 1945, dipimpin oleh Residen Priangan, R. Poeradiredja.
Menurut Ajip Rosidi (2011: 98-99), rapat dihadiri 24 orang yang dianggap mewakili seluruh elemen masyarakat Priangan terdiri dari 9 orang mewakili organisasi kemasyarakatan, 6 orang mewakili golongan sosial, 6 orang individu sebagai tokoh penting, dan 3 orang mewakili golongan peranakan Indo, Arab, dan Cina.
KNI Priangan memilih Niti Sumantri sebagi Ketua, didampingi Ir. Oekar Bratakoesoemah (Wakil Ketua), Anwar Sutan Pamuntjak, dan Hamdani (anggota). Dibentuk pula Sekretariat KNI, dipimpin oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara.
Untuk menunjukkan dukungan rakyat kepada Proklamasi Kemerdekaan dan Pemerintah Republik Indonesia, pada 2 September 1945, dilaksanakan rapat akbar di alun-alun Bandung.
Namun, rapat akbar seperti itu perlu dilakukan, karena tidak semua bangsa Indonesia menyambut baik Proklamasi Kemerdekaan. Banyak di antara kaum terpelajar yang menyikapi Proklamasi Kemerdekaan dengan sinis, pesimis, bahkan tidak percaya bangsa Indonesia akan dapat mengatur negaranya sendiri.
“Bagaimana Proklamasi Kemerdekaan itu akan berhasil? Bukankah kalau mau berhasil kita harus punya kekuatan? Bukankah untuk mempunyai kekuatan kita harus punya senjata? Dari mana kita akan mendapat senjata? Apakah mau melawan senjata modern dengan bambu runcing?”, itulah rangkaian pertanyaan sinis yang diterima Sjafruddin dari para koleganya.
Mencermati keadaan, pada awal September 1945, KNI Priangan merumuskan dua usul yang akan disampaikan kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Kepada Bung Karno diusulkan mengenai perlunya menggerakkan massa rakyat untuk mendukung kemerdekaan. Kepada Bung Hatta diusulkan agar pemerintah mengeluarkan mata uang Republik Indonesia untuk menggantikan uang Jepang yang sampai saat itu masih berlaku sebagai alat pertukaran dan pembayaran yang sah.
Bung Karno menyambut baik usul KNI Priangan. Akan tetapi, ketika bertemu Bung Hatta, terjadi diskusi yang cukup hangat, karena Wakil Presiden itu ternyata tidak menganggap penting RI memiliki mata uang tersendiri.
Dialog Hatta-Sjafruddin Ketika Menghadapi ‘Perang Uang’
Oleh karena Sjafruddin dianggap orang yang menguasai masalah uang, delegasi KNI Priangan meminta Sjafruddin meyakinkan Bung Hatta.
Terjadilah dialog seperti diceritakan Ajip Rosidi (2011:103-104), sebagai berikut.
Bung Hatta: “Apa perlunya mengeluarkan uang baru? Oleh dunia internasional kita dapat dituduh sebagai pemalsu uang (valse munters), dan andaikata kita ditangkap Belanda, kita akan dihukum sebagai demikian.”
Sjafruddin: “Kalau pemerintah RI, termasuk Bung Hatta, memang mengalami nasib sial ditangkap Belanda, anggota-anggotanya bukan akan dihukum sebagai valse munters, melainkan karena telah melakukan ‘kejahatan’ yang oleh Belanda akan dipandang lebih berat. Yakni telah memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia yang merupakan suatu pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda yang sah (menurut mereka)!”
Bung Hatta: “Baiklah kita tidak dapat dituduh melakukan pemalsuan uang. Tetapi apakah pada taraf perjuangan sekarang, perlu dikeluarkan uang baru? Kita lanjutkan saja pemakaian uang yang dicetak Jepang tanpa membuang-buang waktu dan tenaga untuk mengeluarkan uang baru. Kita ambil saja sebagai contoh pemerintah Bolsyewik di Rusia. Tatkala pemerintah Tsar berhasil mereka gulingkan pada tahun 1917, pemerintah Komunis tidak mengeluarkan uang baru, tetapi tetap memakai uang lama.”
Sjafruddin: “Contoh dari Rusia itu tidak berlaku buat kasus di Indonesia. Pemerintah Bolsyewik tidak mendirikan negara baru. Hanya pemerintahannya ditukar. Di Indonesia ini bukan saja pemerintah Belanda ditukar dengan pemerintah Indonesia, tetapi status jajahan ditukar dengan status negara yang merdeka dan berdaulat. Justeru karena itu perlu diadakan uang baru sebagai salah satu atribut kemerdekaan negara kita.”
Dengan argumen: “mata uang sebagai atribut kemerdekaan negara”, akhirnya Wakil Presiden Hatta menerima gagasan KNI Priangan yang disuarakan dengan fasih oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Alhasll, dengan takdir Allah Yang Maha Kuasa, setelah melalui proses yang panjang dan berliku [lihat juga Mohammad Saubari, dalam Boediono dkk, 2011, hlm 25-57), akhirnya mata uang yang secara resmi dinamakan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) mulai diedarkan pada pukul 24.00 tanggal 29-30 Oktober 1946. Dengan beredarnya ORI sebagai alat pembayaran yang sah, maka segala macam uang yang berlaku sebelum ORI dinyatakan tidak berlaku lagi.
Agar dalam proses pergantian uang, rakyat tidak dirugikan, pemerintah membagi-bagikan uang baru langsung kepada rakyat secara merata. Setiap penduduk mendapat satu ORI.
Terbitnya ORI disambut dengan gegap gempita, bukan hanya oleh rakyat di wilayah RI, tetapi juga
oleh rakyat di daerah pendudukan. Harian Belanda Nieuwsgier, 1 November 1946, mewartakan kegembiraan itu terjadi di mana-mana.
Di banyak tempat, pemberian satu ORI itu dilakukan dengan upacara khidmat. ORI diberikan dalam bungkusan berwarna merah putih. Di tempat lain, pemberian ORI didahului dengan selamatan.
Mengantisipasi harapan berlebihan atas terbitnya ORI, Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara dalam pidato radio yang dipancarluaskan ke seluruh wilayah RI antara lain mengatakan bahwa dengan keluarnya ORI tidak berarti seluruh kekurangan, kesulitan, dan penderitaan akan lenyap sekaligus.
Sjafruddin mengingatkan, ORI bukanlah tujuan. ORI adalah alat bagi perjuangan selanjutnya untuk mencapai tujuan mendirikan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, khususnya di bidang ekonomi.
Sayang, keberhasilan itu tidak berlangsung lama. Netherlands Indies Civilian Administration (NICA) yang menduduki beberapa kota penting, merampas uang Jepang yang oleh tentara pendudukan Jepang dimaksudkan sebagai dana cadangan sebesar f 2 miliar (uang Jepang masih dihitung dengan f = florin, gulden, mata uang Belanda, tetapi dalam kehidupan sehari-hari rakyat menggunakan istilah rupiah atau perak).
Uang hasil rampasan itu kemudian oleh NICA dihambur-hamburkan di daerah RI.
Tidak ayal lagi terjadi “perang uang” di daerah pendudukan seperti Jakarta, Bogor, Bandung, dan kota-kota besar lain. Rakyat yang setia kepada RI hanya mau menggunakan ORI. Ternyata makin lama ORI makin populer. Sebuah koran di Jakarta menurunkan berita dengan judul: “Oeang Kita Menang, Kata Rakjat Djakarta.”
Kisah Gunting Sjafruddin
Selain gangguan NICA, teknologi percetakan yang masih sederhana menyebabkan ORI gampang dipalsukan. Maka uang Jepang dan ORI palsu, menghantam ORI. Sikap juang antipenjajahan ternyata ada juga yang berdampak negatif.
Saking bersemangat antipenjajahan, rakyat di berbagai daerah, bagai berlomba mencetak dan mengeluarkan ORI. Di Sumatera beredar bermacam-macam ORI. Ada ORI Pulau Sumatera (ORIPS), ORI Tapanuli (ORITA). Di Banten, juga ada ORI Banten.
Maka sesudah penyerahan kedaulatan dan pemerintah RI Serikat terbentuk, pemerintah RIS segera menghadapi keadaan moneter yang serbakacau. Dari pemerintah negara-negara bagian diperoleh peredaran uang yang terlampau besar dan sedang dalam inflasi gawat. Sedangkan dari RI diperoleh warisan ORI yang beredar di Jawa dan Sumatera dalam macam-macam jenis dan dengan nilai yang bermacam-macam juga.
Menghadapi kenyataan itu, Menteri Keuangan RIS Sjafruddin Prawiranegara mengeluarkan Maklumat yang menyatakan semua uang sah di daerahnya masing-masing. Sesudah itu dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 13/1950 tentang Pinjaman Darurat yang memberi kuasa kepada Menteri Keuangan “untuk mengambil segala tindakan untuk mengadakan pinjaman bagi Negara RIS dan untuk mewajibkan turut serta dalam pinjaman sedemikian itu, lagi pula untuk mengeluarkan peraturan-peraturan tentang peredaran uang.”
Berdasarkan Undang-undang tersebut, Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan No. PU 1 tertanggal 19 Maret 1950 yang mengandung tujuan: 1. Mengganti berbagai macam uang yang beredar dengan uang baru, dan 2. Mengurangi peredaran uang, baik uang kertas maupun uang giral.
Dua tujuan tersebut dicapai dengan tindakan yang di masyarakat populer sebagai “Gunting Sjafruddin.”
Disebut “Gunting Sjafruddin”, karena tindakannya benar-benar menggunting uang di atas 2,50 menjadi dua.
Bagian kiri uang itu dinyatakan sah sebagai alat pembayaran dengan nilai setengah dari nilainya semula dan mulai 20 Maret hingga 16 April 1950 bisa ditukar dengan uang baru.
Bagian kanan uang kertas ditarik dari peredaran dan dapat ditukarkan dengan Obligasi Pemerintah sejumlah separuh dari nilai semula.
Sangat Berani dan Sangat Rasional
Sebagai ekonom, Wakil Presiden RI (2009-2014), Prof. Boediono melihat dan merasakan situasi pada tahun 1950 itu memang memerlukan gunting Sjafruddin.
Pada saat itu jumlah uang beredar begitu banyak. Setelah revolusi, tidak ada yang mengendalikan. Akibatnya, harga meningkat. Pada saat itu, uang yang beredar pun bermacam-macam. Jadi memang bukan seperti pada sistem normal. Pada saat itu negara juga memerlukan dana untuk membiayai jalannya pemerintahan.
“Ketiga-tiganya dilaksanakan dengan satu gunting, dan itupun bagi saya sebagai ekonom memang sesuatu yang tidak bisa dihindarkan,” kata mantan Menteri Keuangan dan mantan Gubernur Bank Indonesia itu sembari menambahkan bahwa tindakan Sjafruddin itu, “adalah suatu tindakan yang sangat berani, tetapi sangat rasional.”
Menurut Mohammad Saubari, Sjafruddin yang menggerakkan pemerintah untuk mengeluarkan ORI. Sjafruddin yang pertama-tama bertanggung jawab atas terbitnya ORI. Dan sejarah menghendaki Sjafruddin pula yang bertanggung jawab atas penguburan ORI.
Akan tetapi, satu hal yang tidak bisa dibantah, peranan Sjafruddin Prawiranegara atas terbitnya mata uang Republik Indonesia sebagai atribut negara yang merdeka dan berdaulat di bidang ekonomi dan keuangan, amat signifikan.
Pada hemat Fachry Ali, lepas dari karier politik Sjafruddin yang juga bersejarah, sumbangan terbesar dan tempat Sjafruddin di dalam sejarah politik dan intelektual Indonesia terletak pada visi dan kalkulasi teknokratiknya dalam mentransformasikan economic resources (sumber daya ekonomi) menjadi political weapon (senjata politik).
Akhir kalam, dengan posisi Sjafruddin Prawiranegara seperti itu, susah dipahami mengapa orang Indonesia pertama yang menjadi Gubernur BI itu sampai sekarang belum muncul gambarnya di mata uang rupiah kita?[]
******
Republika.co.id