Selasa , 18 April 2017, 04:33 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Oleh: Anang Rikza Masyhadi*
Anda kagum dengan aset Djarum, Sampoerna, dan lain-lain? Izinkan saya menyampaikan sesuatu. Sekitar hampir tujuh dasawarsa yang lalu, setelah Buya HAMKA bekerja sama dengan Yayasan Al-Azhar Indonesia, kini telah memiliki 150 cabang masjid di Indonesia, belum lagi aset sekolah-sekolahnya. Sekarang hampir di tiap provinsi ada Sekolah Al-Azhar. Siapa orang kaya di Indonesia, yang asetnya sebanyak dan semanfaat Al-Azhar?
Di tempat lain, sekitar 90 tahun yang lalu setelah sang kiai menyerahkan seluruh tanahnya, dirinya, bahkan anaknya yang masih dalam kandungan, diwakafkan untuk agamanya, 90 tahun kemudian Pondok Modern Gontor mempunyai 20 cabang dan 400 pondok alumni tersebar di seantero Nusantara bahkan ada yang di luar negeri. Saya tidak tahu berapa ratus triliun asetnya.
Bermula dari tiga bersaudara yang para santrinya menyebutnya dengan sebutan Trimurti: KH Ahmad Sahal, KH Zaenuddin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi. Sebutkan, siapakah orang Indonesia yang asetnya sebanyak beliau? Baik secara nilai aset maupun secara manfaat.
Muhammadiyah? Jangan ditanya. 104 tahun yang lalu, KH Ahmad Dahlan pernah keluar rumah, mengumumkan kepada semua orang, siapa saja yang mau membeli seluruh perabotan yang ada di dalam rumahnya, karena beliau kekurangan dana untuk menggaji guru-guru sekolah Muhammadiyah.
Kini, 104 tahun kemudian, Muhammadiyah telah memiliki 10 ribu lebih sekolah mulai dari PAUD hingga SMA, 180 lebih universitas, 100 lebih rumah sakit, 300 klinik, 10 fakultas kedokteran, dan lebih dari 500 dokter dikeluarkan setiap tahunnya.
Konon, hampir 1.000 Triliun nilai aset Muhammadiyah yang baru bisa terhitung dalam bentuk barang dan masih banyak lagi yang tidak terhitung. Maaf, saya belum update data terbaru amal usaha yang dimiliki ormas ini, akan tetapi seluruh anak bangsa ini bisa merasakannya di tiap kabupaten di seluruh Indonesia.
NU? Ia sangat mengakar dan berbasis pada pesantren. Jangan tanya jumlah, karena yang pasti sudah tidak bisa dihitung lagi, meskipun data di Kemenag ada sekitar 27 ribu pesantren. Tapi, saya yakin lebih dari jumlah itu. Hampir semuanya tumbuh kembang dari wakaf-wakaf umat, mulai dari wakaf tanah 1 m, hingga ratusan hektare.
NU pun sejak satu dasawarsa terakhir ini giat membangun sekolah-sekolah modern, rumah sakit, dan perguruan tinggi. Saya yakin dalam 20 tahun mendatang akan tumbuh ratusan perguruan tinggi dan rumah sakit NU di Tanah Air. Belum lagi jika kita bicara masjid-masjid yang dikelola ormas Islam yang didirikan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari ini, berapa nilai asetnya? Yang pasti akan fantastis.
Ada satu contoh lagi yang perlu kusebutkan di sini: Pesantren Darunnajah Jakarta, salah satu pondok alumni Gontor yang moncer. Baru-baru ini, dalam rangka miladnya yang ke-54 ia kembali mewakafkan tanah seluas 602 hektare atau senilai Rp 1,6 Triliun. Sebutkan, siapa yang berani melepas asetnya sebesar 1,6 Triliun dan diwakafkan pada umat? Gila? Tidak! Aku bahkan menyebutkan sangat waras! Saat banyak orang kaya menghamburkan triliunan rupiah untuk judi dan politik, sebuah pesantren berusia 54 tahun kembali mewakafkan angka yang fantastis.
Tahun 2015, aset tanah wakaf Darunnajah mencapai 677,5 hektare yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia seperti di Riau, Kalimantan, Bandung, Jakarta, Bogor, Banten, Lampung, Bengkulu, dan lain-lain. Seperti induknya, Gontor yang tanah wakafnya telah mencapai ribuan hektare, dan juga mengelola unit usaha yang beragam.
Wow, pesantren seperti perusahaan ya? Asetnya fantastis. Bedanya, pesantren berasal dari wakaf, perusahaan dari modal. Jika begitu, berarti umat Islam ini umat yang besar dan kaya. Yang luar biasa dengan aset yang fantastis itu, kiai pendiri, pengasuh, dan keluarganya tidak memiliki satu sen pun, karena telah diwakafkan. Ada garis tegas pemisahan harta pribadi dengan harta pondok.
Maka, jangan underestimate (anggap remeh), bahwa pesantren tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi menafikan peran pesantren dan umat dalam pembangunan bangsa ini. Terlalu naif. Itu penilaian orang yang tidak paham, atau memang tidak mau paham.
Pondok Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah, enam tahun yang lalu hanyalah hamparan tanah kosong yang tak berpenghuni. Dahulu, ia adalah sebuah kebun cengkeh milik kakekku, hanya 1,6 ha luasnya yang setelah wafatnya pada 1988 nyaris tak terurus dengan baik. Tahun 2009, aku tekadkan untuk mengubahnya menjadi “kebun manusia”; bukan lagi cengkeh yang akan dipetik, tapi manusia-manusia masa depan yang akan dipanen: 10, 20, atau 30 tahun yang akan datang, bahkan, mungkin satu abad, atau 10 abad seperti Universitas Al-Azhar di Kairo, tempatku dan adik-adikku nyantri.
Kini, wakaf Tazakka terus berkembang,: tanah telah menjadi hampir 10 hektare, masjid, gedung-gedung asrama santri, ruang-ruang kelas, aula pertemuan, dapur umum santri, kamar mandi, lapangan olah raga, perpustakaan, dan lain sebagainya. Bisakah seperti Al-Azhar di Kairo atau Gontor di Ponorogo? Aku selalu berdoa seperti itu, agar keabadian aset wakafnya mengalirkan pahala kepada para arwah para pendiri dan pejuang-pejuangnya.
Buya HAMKA seandainya masih hidup, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, dan juga Kiai Ahmad Sahal, Kiai Fannanie dan Kiai Imam Zarkasyi, saat ini mereka sedang tersenyum di sisi-Nya, karena simpanan di rekening gendut akhiratnya terus mengalir.
Sementara yang punya rekening gendut di dunia, pusing di akhiratnya, pusing pula di dunianya. Mereka itu rela hidup sangat sederhana –untuk tidak mengatakan menderita– demi memperjuangkan sebuah cita-cita dan memelihara amanah wakafnya.
Sebuah hadis Nabi SAW menyebutkan: “Ada malaikat Allah yang siap mendoakan orang-orang yang ikhlas di jalan Allah yang tak terhitung jumlahnya.” Itulah jalan kemuliaan para ulama kita terdahulu. Mereka tidak saja mewariskan nilai-nilai kehidupan, tetapi juga mewariskan peradaban. Lalu, pertanyaannya, apa yang sedang dan akan wariskan kepada generasi yang akan datang?
Para ulama pendahulu kita, mereka abadi hingga kini. Setidaknya, nama, foto dan silsilahnya masih segar di ingatan seluruh umat dan bangsa ini. Dengan begitu, mereka selalu didoakan. Duh, nikmatnya mereka, tiap saat kuburnya basah dan lapang karena kiriman doa-doa umatnya yang terus-menerus tiada henti. Bisakah kita kelak seperti mereka? Ya Rabb!
Itulah jalan wakaf, membentang ke depan tak berujung. Wakaf itu seperti –meminjam istilah Taufiq Ismail– “Sajadah Panjang”, tempat kita menghamparkan diri berinvestasi untuk akhirat yang abadi. Harta yang kita wakafkan tidak hilang, tetapi tersimpan dalam rekening akhirat. Ibarat sebuah transaksi di bank, para malaikat itulah yang bertugas sebagai teller-teller-nya.
Aku hanya bisa berdoa, semoga kita semua ini menjadi batu-batu pondasi untuk sebuah peradaban masa depan yang Islami. Apa pun yang telah kita ikhlaskan dalam bentuk wakaf: aset, uang tunai, tenaga, pikiran, akses jaringan, keahlian, manfaat dan lain sebagainya, semoga itu semua menjadi catatan kebaikan dalam timbangan di akhirat kelak.
“Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.” (Muttafaqun Alaih).
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Qs Ali Imran [3]: 92).
Wakaf memang mengagumkan! Sayang, belum banyak yang mengerti dan melakukannya!
* Pimpinan Pondok Modern Tazakka Batang, Jawa Tengah.
********
Republika.co.id