Red: Maman Sudiaman
Oleh : Azyumardi Azra
REPUBLIKA.CO.ID/Garut News ( Sabtu, 24/12 – 2016 ), Ranah budaya Islam Asia Tenggara—biasanya juga disebut Nusantara—sangat beruntung dengan eksistensi lembaga pendidikan ‘tradisional’ pesantren atau pondok. Di tengah pergolakan dan perubahan zaman, lembaga pendidikan ini—khususnya di Indonesia—tidak hanya bertahan, tetapi juga terus menemukan momentum.
Pesantren dan pondok memiliki peran sangat penting dalam pembentukan tradisi dan ortodoksi Islam Asia Tenggara yang dikenal sebagai ‘Islam wasathiyah’. Pembicaraan tentang Islam wasathiyah juga menemukan momentum ketika berbagai paham transnasional yang cenderung literal dan ekstrim memasuki wilayah Muslim Asia Tenggara dan berusaha mendapat penganut.
Karena itu, dua pertemuan dan pembicaraan tentang pesantren sangat tepat waktu dan strategis. Pertama, Halaqah Ulama ASEAN 2016 bertema ‘Enhancing Moderate Islam through Pesantren” (13-15/12/16), diselenggarakan Pusat Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balitbang-Diklat, Kemenag; kedua, Workshop Pesantren ASEAN bertajuk ‘Promoting Cross-Cultural Educational Exchanges in ASEAN’ (27-29/11/ 2016) , dilaksanakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan pemerintah Jepang.
Bagi penulis Resonansi ini, kedua forum tersebut adalah halaqah yang sekaligus revisitasi, ‘kunjungan kembali’ ke pesantren yang juga lazim disebut pondok baik di Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara lain, khususnya di Malaysia dan Brunei Darussalam. Dengan revisitasi, dapat dilihat apa yang telah dan sedang terjadi di lingkungan pesantren dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Sejak paroan kedua 1980an pesantren mengalami berbagai perubahan dalam berbagai aspeknya; kelembagaan, isi pendidikan dan lingkungan fisik dan fasilitas. Berbagai perubahan terjadi bukan hanya karena dorongan faktor eksternal, seperti kebijakan modernisasi pendidikan Islam sejak awal 1970an, tetapi juga disebabkan perubahan dalam kehidupan keagamaan, ekonomi, sosial, budaya dan politik dalam kehidupan secara keseluruhan.
Perkembangan dan perubahan dalam dunia pendidikan Indonesia umumnya, tak bisa tidak juga mempengaruhi pendidikan Islam, khususnya pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di kawasan ini. Tak kurang pentingnya, dinamika perkembangan Islam di tingkat global sedikit banyak juga mempengaruhi perkembangan pesantren.
Mempertimbangkan berbagai perubahan, perlu penyesuaian perspektif, paradigma dan tipologi tentang pesantren. Di sini juga dapat terlihat kontinuitas dan perubahan pesantren sekaligus relevansi dan peluangnya untuk internasionalisasi guna pengembangan Islam Wasathiyyah secara global untuk realisasi Islam rahmatan lil ‘alamin.
Halaqah membincang sekarang tentang pesantren pasti menimbulkan kesan—dan kesimpulan sangat berbeda dengan persepsi konvensional tentang pesantren. Sekali lagi, terjadi sangat banyak perubahan di lingkungan pesantren atau pendidikan Islam umumnya, yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh para pemerhati dan pengembang pendidikan Islam di negeri ini.
Hemat saya, istilah ‘pesantren’ itu sendiri perlu dipertimbangkan dan didefinisikan kembali. Perkembangan kelembagaan—termasuk kepemimpinan dan manajemen, substansi pendidikan dan fasilitas pesantren mengalami perubahan yang hampir tak mungkin dimundurkan—dikembalikan ke bentuk asalnya yang tercakup dalam pengertian konvensional ‘pesantren’.
Dalam pengertian ‘konvensional’, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk tafaqquh fi al-din dalam halaqah melalui metode pembelajaran bandongan dan sorogan. Dalam perkembangannya, metode pembelajaran berubah menjadi klasikal dengan lebih banyak ceramah dari guru atau kiai. Dalam masa kontemporer, pembelajaran kemudian juga menggunakan medium teknologi informasi, sehinggga kiai dan guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi dan ilmu pengetahuan.
Perubahan atau perkembangan metode pembelajaran yang melibatkan akses lebih besar pada informasi dan ilmu pengetahuan menimbulkan konsekuensi tertentu. Para kiai, guru dan kitab kuning tidak lagi merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan; para santri kini juga dapat memperoleh banyak pengetahuan dari dunia maya. Tetapi, tentu saja peran kiyai dan guru tetap sangat vital juga sebagai contoh teladan kepribadian dan keilmuan.
Perubahan substansi keilmuan pesantren adalah salah satu perkembangan paling signifikan sejak awal 1970an. Dari sudut substansi keilmuan, pesantren kini lebih lengkap; tidak hanya bertumpu pada ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulum al-diniyyah), tetapi juga ilmu-ilmu umum (ilmu sosial/humaniora lain dan eksakta/ilmu alam) yang secara epistimologis juga bersumber dari Allah SWT.
Berbekal berbagai macam ilmu, santri lulusan pesantren memiliki potensi untuk lebih dapat menjawab tantangan yang terus berubah dan sekaligus memainkan peran lebih besar dalam kehidupan keumatan-kebangsaan.
*********
Republika.co.id