Hakim

Hakim

954
0
SHARE

-L.R. Baskoro, baskoro@tempo.co.id

Jakarta, Garut News ( Senin, 09/12 ).

Ilustrasi. (Foto: John).
Ilustrasi. (Foto: John).

Hakim tak sejajar dengan jaksa.

Apalagi dengan pengacara, para lawyer. 

Karena itu, posisinya istimewa di ruang sidang: tempat ia duduk lebih tinggi daripada tempat jaksa dan pengacara.

Ia tak berada di kiri atau kanan, melainkan di tengah karena dia pengadil.

Dia tak memihak atau bersimpati kepada jaksa atau pengacara.

Dia memilih kebenaran.

Hakim adalah kaum terhormat.

Mereka, dibanding  para pemilik pengetahuan hukum lain, telah mendapat sebutan “paling mengetahui hukum” (ius curia novit).

Karena itu, saat mereka masuk atau keluar ruang sidang, semua yang berada di ruangan-tak terkecuali siapa pun dan sedang apa pun-wajib berdiri, menghormati.

Pertanggungjawaban hakim adalah kepada Tuhannya.

Tak seperti jaksa, yang memiliki atasan, atau pengacara, yang punya “pertanggungjawaban” kepada klien atau mereka yang telah membayar besar.

Itu sebabnya, setiap putusan hakim selalu dibuka dengan kalimat, “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “

Tak ada putusan hakim tanpa mencantumkan kata-kata dengan konsekuensi,  yang secara sosial-religius sangat berat.

Hakim tak membuat putusan  dengan sekadar ilmu yang dimiliki.

Dia bukan corong berbagai undang-undang.

Hakim adalah mereka yang berani menemukan hukum (rechtvinding).

Mereka yang dengan keyakinannya berani menerobos aturan yang ia pandang tak adil.

Aturan atau undang-undang yang buruk, yang bisa jadi sengaja diciptakan oleh  mereka yang dibayar  agar membuat undang-undang itu buruk.

Hakim mengatasi keburukan dan bolong-bolong itu.

“Berikan aku hakim yang baik, meski di tanganku ada hukum yang buruk,”  demikian sebuah tulisan terpampang di pengadilan Inggris.

Dengan tanggung jawab dan posisi itulah hakim sesungguhnya sebuah pilihan  masuk dunia sepi.

Dunia yang membuat ia terus-menerus mendengar nuraninya, dunia yang membuat ia mengasah rasa keadilan, sebuah “nilai” yang lebih daripada sekadar “kebenaran.” 

Karena itu, semua kode etik hakim di dunia, termasuk kode etik hakim Indonesia, menempatkan “berperilaku adil” sebagai hal paling utama.

Jika seseorang tak memiliki perilaku ini,  ia tak layak jadi hakim.

Dengan tuntutan dan tanggung jawab itulah seorang hakim membatasi diri dalam pergaulan.

Ia tak akan menerima sembarang tamu di rumah dan di kantornya.

Ia menutup diri rapat-rapat dari segala hal yang bisa membuat siapa pun-para tersangka,  pengacara, mafia hukum-datang mendekati, merayu, dan mengiming-iminginya dengan segala hal yang akan  membelokkan kebenaran dan keadilan yang ia genggam.

Ia tak akan bermain golf, pelesir ke luar negeri, apalagi dibiayai  mereka yang berkasus atau kasusnya menang.

Ia tak tergiur hal-hal demikian.

Sebab, ia sadar keinginan semacam itu bisa “membunuh” nuraninya.

Karena itu, jelas ada yang salah jika ada hakim yang mengejar kekayaan, mengoleksi puluhan mobil,  puluhan berlian, juga selingkuh.

Bukan pada hakim itu, melainkan, terutama, pada sistem perekrutannya, saat pemilihan “benih-benih” hakim itu dulu.

Saat pada benih itu sudah tertanam sifat tamak, korupsi, culas, dan pendendam, sesungguhnya kita tengah memeram sebuah malapetaka pada gedung-gedung pemutus keadilan.

Dan itulah kini yang kita lihat.

***** Kolom/artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY