Saharuddin Daming, Dosen Universitas Ibnu Khaldun
Jakarta, Garut News ( Selasa, 10/12 ).
Dalam entitas tertentu, Desember merupakan momen yang bertabur kebahagiaan.
Tapi, bagi entitas lain, pengujung bulan itu mungkin penuh dengan ketidaknyamanan sebagaimana yang dilukiskan Maharani Kahar, penyanyi asal Surabaya yang populer di era 1980-an dengan lagu berjudul Desember Kelabu.
Bisa jadi kedua situasi paradoks tersebut mewakili prestasi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia di sepanjang 2013.
Ironisnya, geliat publik dalam memperingati hari hak asasi manusia universal sering kalah meriah dengan kegemerlapan peringatan hari-hari bersejarah internasional lainnya.
Lebih ironis lagi ketika kita menengok prestasi penegakan hukum di sepanjang tahun ini atas isu itu.
Tak ada yang dapat memungkiri kenyataan bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum selama ini baru mampu menyentuh sisi permukaannya saja.
Sedangkan korupsi yang terpendam di bawahnya, dengan jumlah yang jauh lebih besar, seluruhnya aman terkendali dan jauh dari jangkauan pedang penegak hukum.
Ditinjau dari aspek risiko, korupsi dalam segala bentuknya, tentu menimbulkan akibat pelanggaran HAM tingkat tinggi.
Ketika negara meratifikasi International Covenant on Economic and Social Culture Rights dengan UU Nomor 11 Tahun 2005 ataupun terhadap International Covenant on Civil and Political Right dengan UU Nomor 12 Tahun 2005, sejak itu negara bersama seluruh aparaturnya berkedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer).
Dalam konteks ini negara sekurang-kurangnya dilekati tiga kewajiban, yaitu kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), kewajiban melindungi (obligation to protect), dan kewajiban memenuhi (obligation to fulfill) hak setiap warga negara.
Berkaca dari fenomena kesulitan sebagian warga dalam melangsungkan hidup secara layak dewasa ini, jelas merupakan bukti terjadinya pelanggaran HAM yang sangat serius oleh negara.
Celakanya, sebagian besar kegagalan negara dalam mewujudkan kewajibannya tersebut disebabkan oleh korupsi yang begitu sistematis dan meluas pada seluruh struktur penyelenggara negara.
Dari jajaran eksekutif hingga legislatif, bahkan yudikatif sebagai penegak hukum, semuanya tak ada yang steril dari terjangan dan kontaminasi virus korupsi.
Sudah bukan rahasia lagi dalam pengetahuan publik bahwa banyak oknum penegak hukum terlibat bahkan menjadi dalang mafia peradilan.
Maraknya transaksi keadilan di balik meja hijau bukan saja karena faktor dekadensi moral, tapi juga lantaran faktor hukum sendiri.
Karena pada Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009, antara lain, diatur bahwa dalam memutus perkara pidana diserahkan sepenuhnya kepada keyakinan hukum para hakim (beyond reasonable doubt). Selanjutnya, dalam Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan kompetensi peradilan.
Dengan otoritas hakim seluas ini, ia leluasa untuk membebaskan atau meringankan hukuman seorang koruptor atas dasar kemerdekaan dan keyakinan hakim, meski putusan itu menimbulkan keresahan publik.
Kecenderungan hakim memihak koruptor tentulah karena pengaruh kekuatan fulus.
Ini semua bukan saja menjungkirbalikkan hukum dan keadilan, tapi juga sekaligus bentuk pelanggaran HAM, khususnya mengenai jaminan peradilan yang obyektif, jujur, dan tidak memihak sebagaimana diatur dalam Pasal 10 deklarasi Universal HAM jo Pasal 14 ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Dengan konfigurasi peradilan seperti itu, banyak sekali perkara korupsi yang seharusnya dihukum berat ternyata justru diputus bebas atau diringankan hukumannya oleh hakim dengan bermodalkan keyakinan dan kemerdekaan yang melekat padanya.
Realitas ini sejalan dengan pandangan Hugo Black (hakim agung AS): “Takkan ada keadilan sejati jika peradilan bergantung pada uang.”
Tak pelak lagi, rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan menjadi subyek penikmatan kekayaan negara, sebagian besar kini hanya puas mencicipi tetesan kecil dari kebijakan semu dan apologi oleh pemangku negara.
Padahal potensi kekayaan alam dan penghasilan dari sektor pajak sudah lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyat.
Namun etalase pemberitaan media seringkali menampilkan sosok yang sangat memiriskan hati lantaran didera kemiskinan tanpa sensitivitas pemangku negara untuk membantunya.
Herannya, sebagian besar bantuan spontan untuk masyarakat miskin justru diprakarsai oleh lembaga media yang menghimpun sumbangan para pemirsa.
Ke manakah peran dan fungsi serta tanggung jawab negara sebagai duty bearer?
Sebagian kalangan memang telah lama memvonis negara absen atas peran, fungsi, dan tanggung jawabnya itu.
Dalam konteks ini, tepat sekali tesis cerdas dari Peter Dracker dengan kesimpulan bahwa sebenarnya di dunia ini tidak ada negara terbelakang, tapi yang ada hanyalah negara yang salah urus.
***** Kolom/artikel Tempo.co