Jumat , 28 April 2017, 06:00 WIB
Red: Maman Sudiaman
REPUBLIKA.CO.ID, Media-media asing menyebut kemenangan Anies-Sandi sebagai kemenangan Islam radikal, Islam garis keras, dan Islam fundamentalis. Sejumlah, bahkan banyak, pihak di dalam negeri juga menyebut hasil Pilkada DKI 2017 sebagai kemenangan Islam radikal.
Para penuduh ini seperti sedang membuat orang-orangan sawah bahwa politik identitas sebagai hantu yang harus diusir. Intinya orang Islam itu tidak Pancasilais, anti-Bhinneka Tunggal Ika, dan tentu saja tak layak hidup di NKRI.
Bagi yang lama bergelut sebagai aktivis pergerakan Islam, tuduhan ini bukan stigmatisasi baru. Propaganda lama yang selalu diputar kala ada kebangkitan Islam politik. Jangankan Anies-Sandi, BJ Habibie pun saat mendirikan ICMI dan menjadi presiden mendapat stigma sama. Tentu saja itu lucu, geli, dan norak. Yang menuduh adalah orang-orang hebat. Tentu bukan karena mereka tak paham. Mereka paham sepaham-pahamnya. Lalu mengapa mereka membuat tuduhan semacam itu?
BJ Habibie tak pernah mesantren. Ia juga tak pernah ikut taklim. Saat SMA bersekolah di sekolah Kristen. Lalu sebentar kuliah di ITB, dilanjutkan kuliah di Jerman. Di negeri itu, ia menempuh pendidikan sarjana hingga meraih gelar doktor. Selanjutnya ia meniti karier di negeri itu hingga dipanggil pulang oleh Soeharto. Setelah sebentar di Pertamina, Habibie menjadi menristek. Ia hanya bergulat dengan itu.
Namun panggung politik di akhir dekade 1980-an – saat generasi santri pertama yang bersekolah setelah kemerdekaan mencapai usia mapan dan menuntut ruang lebih baik — membuat diriya terpilih menjadi ketua umum ICMI pada 1990.
Inilah interaksinya yang intens dengan kalangan Islam untuk kali pertama. Ia menjadi mendadak santri. Para pendiri ICMI adalah tokoh Islam dari kampus, birokrasi, dan LSM yang lahir pada 1940-an.
Nurcholish Madjid, M Dawam Rahardjo, M Amien Rais, Adi Sasono, dan lainnya di antara para pendiri itu. Mereka tentu jauh dari fakta sektarian dan anti-Pancasila. Namun gerakan ini distigma sebagai sektarian dan anti-Pancasila. Indonesia diharu biru dengan stigma itu. Habibie yang sebelumnya menjadi idola bangsa Indonesia, dari anak-anak hingga orang tua, menjadi orang paling rendah. Butet Kertaradjasa bahkan paling jago memarodikan dengan menirukan mimik, gerak, dan suaranya. Habibie menjadi bahan tertawaan.
Saat ia menjadi presiden, seolah tiada hari tanpa demonstrasi. Hingga akhirnya pertanggungjawabannya ditolak MPR. Habibie demokrat sejati. Karena pertanggungjawabannya ditolak, ia menolak dicalonkan kembali menjadi presiden pada periode berikutnya. Masa kekuasaannya yang singkat, dicatat dengan tinta emas. Ia membebaskan semua tahanan politik. Bahkan di antara mereka kemudian menjadi tokoh yang ikut mendemo dirinya di hari-hari tanpa sepi unjuk rasa itu.
Ia juga melakukan liberalisasi di berbagai sektor. Tak hanya di bidang politik, tapi juga ekonomi. Perundang-undangan yang menjadi basis kebebasan sipil dilahirkan. Tak ada regulasi yang ia lahirkan sebagaimana yang distigmakan itu. Ia dikenal sebagai satu-satunya presiden yang berhubungan baik dengan semua golongan dan semua mantan presiden – kecuali dengan Soeharto. Kini, ia legenda dan teladan dalam moralitas bernegara dan berbangsa.
Sebagian orang yang memusuhinya, kini menyesali kelakuannya menjatuhkan Habibie. Bagaimana dengan Anies dan Sandi? Saat mahasiswa, Anies aktif di HMI. Ia menempuh pendidikan di sekolah negeri di Yogyakarta. Setelah itu, ia kuliah di Fakultas Ekonomi UGM. Pendidikan master dan doktoralnya di Amerika Serikat (AS).
Pulang dari sana, ia menjadi direktur riset di Indonesia Institute. Lalu menjadi rektor Universitas Paramadina, universitas yang didirikan Nurcholish Madjid. Ia juga memimpin gerakan Indonesia Mengajar. Pemikirannya liberal dan sekuler. Ia pembaca manifesto saat deklarasi ormas Nasdem. Ia ikut konvensi capres Partai Demokrat, namun kemudian menjadi juru bicara pasangan Jokowi-Kalla pada Pilpres 2014. Dari situ, ia menjadi deputi di Kantor Transisi yang dipimpin Rini M Soemarno.
Lalu ia menjadi mendikbud di kabinet Jokowi. Ia tak pernah mengikuti gerakan keagamaan berbasis pengajian.
Sandi adalah anak kosmopolit. Pendidikan SD dan SMA di sekolah Kristen dan Katolik. Setelah itu, ia menempuh pendidikan sarjana dan masternya di AS. Sebelum menjadi pebisnis, ia pegawai di Bank Summa, juga menjadi ekspatriat di Singapura dan Kanada.
Setelah krisis global, ia menjadi pebisnis. Ia memiliki hubungan baik dengan taipan William Soerjadjaja, bahkan menjadi mitra bisnis Edwin Soerjadjaja. Ia bermitra dengan teman-temannya saat SMA maupun saat kuliah di AS, dari beragam etnik dan agama. Ia tak pernah ikut gerakan keagamaan berbasis pengajian. Ia pernah menjadi ketua umum HIPMI dan kini salah satu ketua Kadin. Akhirnya, ia terjun ke politik menjadi wakil ketua umum Gerindra.
Anies dan Sandi, tipikal generasi yang dididik keluarga baik-baik. Kedua orang tua Anies dosen di Yogyakarta. Mien Uno, ibunda Sandi, pendidik di sekolah kepribadian. Ayahnya, profesional di bidang pertambangan. Mereka menanamkan kehidupan religius kepada anak-anaknya. Namun kini, setelah menang pada Pilkada DKI Jakarta, keduanya mendapat stempel dan gelar baru: wakil Islam radikal.
Fakta terbuka di masa lalu masih begitu lekat dalam ingatan. ICMI memang organisasi kaum cendekiawan. Namun organisasi ini berpretensi untuk menjadi clearing house bagi seluruh elemen Muslim di Indonesia. Kendati begitu, di seluruh elemen kepemimpinan, yang bertahta adalah para cendekiawan dan ulama. Kini, Anies-Sandi hanya diusung Gerindra dan PKS. Namun ustaz-ustaz umumnya berlabuh mendukung pasangan ini. Ada pretensi untuk menghimpun seluruh pemilih Muslim.
Sejak 2015, para ustaz bergerak mengerem laju Ahok. Mereka mengusung banyak nama, namun tak ada nama Anies. Mereka juga melobi ke PDIP agar tak mencalonkan Ahok. Silakan pilih kandidat lain dan mereka siap berkampanye mendukungnya. Ketua umum ormas Islam besar bahkan harus dua kali melakukan lobi serupa. Para ustaz dan ulama sudah mendeteksi penolakan keras terhadap Ahok. Bukan hanya dari FPI saja misalnya. FPI itu kecil sekali. Umat yang terbesar tetaplah berasal dari NU dan Muhammadiyah.
Hal itu kemudian dibuktikan data exit poll, sekitar 60 persen Muslim menolak Ahok. Dari data exit poll juga terungkap afiliasi politik mereka yang beragam, termasuk dari Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Namun stempel dan stigma telah dilekatkan. Tak perlu defensif. Ini bukan hal baru. Santai saja. Intinya, jika ada wakil dari Islam politik yang lahir dari rahim yang tak dikehendaki maka jadilah ia radikal, anti-Pancasila, anti-NKRI, anti- Bhinneka Tunggal Ika.
Lebih baik Anies dan Sandi membuktikan diri dengan kerja yang baik. Tapi jangan kaget pula jika nanti keriuhan akan terus terjadi seperti masa Habibie. Ini namanya Islamofobia alias anti-Islam.
**********
Republika.co.id