Esay/Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 06/02 – 2017 ).
Pemkab Garut dinilai perlu merintis mewujudkan kota baru, yang bisa dijadikan “ikon” setelah selama ini memiliki kawasan perkotaan dikenal dengan sebutan “Pengkolan”.
Bahkan jika memungkinkan di kabupaten tersebut bisa memiliki kawasan “Kota Cerdas Berkelanjutan” (KCB), guna memenuhi kebutuhan penduduk perkotaan memiliki kota yang senantiasa memberikan “inspiratif”.
Diperlukannya upaya merintis mewujudkan kota baru selain “Pengkolan”, dikemukakan Kepala “Badan Perencanaan Pembangunan Daerah” (Bappeda) kabupaten setempat, Ir H. Deni Suherlan, M.SI ketika didesak pertanyaan Garut News, Senin (06/02-2017).
Dia katakan, pihaknya pun selama ini kerap membicarakan mengenai diperlukannya upaya membagi kepadatan dan keramaian dari pusat kota dan peretokoan “Pengkolan”.
Karena itu, sangat diperlukan pula detail perencanaan berbasiskan ragam kajian serta pendekatan sosial kemasyarakatan dalam merumuskan konsepsi merintis pembangunan kota baru dengan penerapan regulasinya.
Sedangkan formula konsepsi KCB tak sekadar kota yang hanya mengandalkan kemajuan teknologi informasi dengan didukung jaringan infrastruktur Internet kuat, serta pasokan listrik memadai.
Melainkan juga mampu menggali potensi lokal dan memaksimalkan sumber daya kota serta warga untuk mengatasi masalah ekonomi dengan cerdas (ekonomi).
Kota pun didukung pusat bisnis dan industri (jasa) ramah lingkungan, memaksimalkan sumber daya alam yang (sangat) terbatas (air, lahan, dan energi fosil), sehingga tumbuh perekonomian berkelanjutan (ekonomi hijau).
Sehingga kota tersebut memiliki pusat pendidikan berkualitas dan berwawasan lingkungan untuk mencetak sumber daya manusia berkualitas unggul sebagai aset dan aktor utama penggerak ekonomi.
Kota yang menciptakan suasana aman, nyaman, produktif, dan memiliki tata kelola sumber daya manusia yang baik sebagai unsur pengungkit (sosial).
Warga mendapat layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan layanan publik lain dengan layak, mudah, dan murah. Masyarakat mudah berinteraksi dengan warga dan pemerintah, baik secara konvensional (tatap muka) maupun digital, di media sosial.
Kota didukung oleh aspek pengungkit berupa teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola pemerintahan, serta sumber daya manusia sebagai pendorong munculnya aneka solusi inovatif dan kreatif terhadap persoalan kota.
Pemerintah pun membangun modal sosial melalui komunikasi intensif, dan menumbuhkan rasa saling percaya untuk bersama membangun kota. Dengan sepuluh indikator KCB guna mewujudkannya.
*********
Terdapat 10 indikator yang harus dipenuhi. Pertama, memiliki perencanaan dan perancangan berwawasan lingkungan dan tanggap akan perubahan iklim, yakni rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi, rencana tata bangunan dan lingkungan, serta panduan perancangan kota.
Kedua, menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) dengan porsi 30 persen dari luas kota/kawasan (publik 20 persen dan privat 10 persen). Taman, jalur hijau, dan pepohonan besar membentuk jaringan infrastruktur hijau. Kota menyusun rencana induk RTH yang dijabarkan dalam rencana detail, target tahunan, lokasi peruntukan, serta alokasi dana yang berkelanjutan.
Ketiga, warga terbiasa berjalan kaki atau bersepeda ke tempat yang dekat atau menggunakan transportasi publik ke luar kawasan. Tersedia trotoar ramah pejalan kaki serta infrastruktur sepeda aman dan nyaman (jalur, parkir, bengkel, persewaan), serta didukung oleh transportasi publik terpadu dan terjangkau (bus, kereta api, dan angkutan tradisional).
Keempat, menuju kawasan bebas sampah. Pengolahan sampah, terutama sampah organik (kompos), sesedikit mungkin tersisa atau tidak bisa diolah atau harus dikirim ke tempat pembuangan (dan pengolahan), dilengkapi dengan koperasi bank sampah dan alat pembangkit listrik (biogas).
Kelima, bebas banjir dan tersedia air bersih. Warga mendapat akses dan jaminan ketersediaan air bersih pada musim kemarau. Tidak ada air terbuang dan semua diserap kembali ke dalam tanah (sumur resapan, kolam penampung, dan situ/waduk).
Keenam, menerapkan standar bangunan hijau, yakni pencahayaan cukup, udara segar mengalir lancar, air tercukupi dan tidak ada yang terbuang, listrik terpenuhi, serta bahan bangunan lokal atau daur ulang (dengan arsitektur lokal).
Ketujuh, warga beralih secara bertahap ke energi terbarukan (surya, bayu, biogas), tagihan listrik turun, dan pasokan listrik aman. Hak warga akan kebutuhan energi dasar (penerangan, bahan bakar) terpenuhi dengan memanfaatkan energi terbarukan di lingkungan terdekat.
Kedelapan, membangun semangat sukarela, gotong-royong, peduli lingkungan, dan sosial-budaya masyarakat dalam perkembangan kota. Muncul banyak komunitas teritorial (pramuka, karang taruna) dan kategorial (Bike to Work, pencinta alam), terjalin komunikasi intensif antar-komunitas, serta muncul gerakan warga/komunitas peduli kota.
Kesembilan, menumbuhkan ekonomi ramah lingkungan dan meningkatkan pendapatan semua pihak secara berkelanjutan. Karena itu, perlu ada keberpihakan terhadap produk lokal, labelisasi/sertifikasi produk hijau, insentif bisnis hijau, proses produksi ramah lingkungan, dan penggunaan energi terbarukan dalam proses produksi.
Kesepuluh, pemerintah memberikan teladan kepada masyarakat dalam menerapkan prinsip hidup hijau cerdas (partisipatif, transparan, akuntabel, sinergis, dan berkelanjutan). Juga harus ada birokrasi transparan dan egaliter serta penerapan e-Government (penguatan infrastruktur jaringan dan pusat data, infrastruktur sistem informasi, integrasi data, pengembangan aplikasi terintegrasi, dan pembuatan “gudang data”) yang dieksekusi dalam kebijakan kota.
*********
Sumber :
Nirwono Joga
Koordinator Kemitraan Kota Hijau