JUM’AT, 28 JULI 2017 | 01:07 WIB
Di antara banyak klaim keberhasilan pemerintah mengamankan gejolak harga komoditas, garam merupakan satu di antara beberapa yang layak diberi ponten merah. Dalam beberapa hari terakhir terjadi kelangkaan garam konsumsi di sejumlah wilayah Indonesia. Kegagalan panen pada 2016 dan 2017 menjadi kambing hitam yang dipersalahkan pemerintah.
Kelangkaan garam di sebuah negeri yang memiliki matahari, laut, dan garis pantai lebih banyak dibanding di sebagian besar negara dunia tentu amat mencengangkan. Karena itu, pasti ada yang tidak beres ihwal kebijakan pengelolaan komoditas yang proses produksinya sungguh sederhana ini, yaitu dengan cara menguapkan air laut.
Bahkan krisis ini seharusnya bisa diantisipasi jauh sebelumnya. Tanda akan terjadi darurat garam sudah terlihat jauh hari. Misalnya, sejak Lebaran, harga garam atau jerut nyaris tak pernah turun lagi. Di tingkat konsumen, harga melambung hingga empat kali lipat.
Kebutuhan garam nasional setiap tahun sebesar 4,3 juta ton, mencakup garam industri dengan kadar Natrium Klorida (NaCl) di atas 97 persen dan garam konsumsi dengan kadar NaCl di bawahnya. Sebanyak 1,8 juta ton di antaranya dipasok dari dalam negeri, kebanyakan untuk garam konsumsi yang kini langka.
Sejak awal 2017, pasokan dari ladang dalam negeri sudah seret. Di tambak milik PT Garam di Sumenep, misalnya, produksi garam pada Mei-Juni hanya 50 ton, anjlok dibanding angka biasanya yang mencapai 2.500 ton.
Biang keladinya adalah cuaca. Sinar matahari sepanjang tahun ini tidak sebanyak biasanya, padahal industri garam dalam negeri mengandalkan matahari untuk menguapkan air laut.
Tapi tidak elok kalau kita hanya menyalahkan alam. Pemerintah seharusnya bisa belajar dari krisis garam konsumsi pada 2010. Akibat cuaca ketika itu, produksi garam nasional hanya 30 ribu ton, sehingga pemerintah mengimpor lebih dari 2,1 juta ton untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Kendala itu sekarang tak bisa serta-merta diatasi dengan impor. Ketentuan pemerintah yang mensyaratkan kandungan NaCl garam beryodium ini harus di bawah 97 persen menyulitkan PT Garam. Sebab, di pasar dunia jarang ada garam dengan kualifikasi tersebut. Langkah terobosan yang dibuat direksi perusahaan itu, yakni mengimpor garam industri untuk bahan baku garam konsumsi, berujung persoalan hukum.
Karena itu, sudah tepat langkah pemerintah mempercepat impor garam. Respons sigap penting karena krisis ini tidak melulu merepotkan masyarakat, tapi juga industri. Di Maluku, misalnya, gara-gara garam langka, banyak usaha pengolahan ikan asin tutup atau terpaksa mengalihkan bisnisnya ke ikan asap. Dampaknya, harga ikan asin melonjak hingga 30 persen.
Agar krisis tidak terus berulang, upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tengah menyusun peraturan pengendalian impor komoditas garam harus didorong agar lebih cepat rampung. Aturan ini mesti mengedepankan kebijakan antisipatif yang bisa memastikan jaminan pasokan, tanpa mengabaikan perlindungan bagi petani garam.
*********
Opini Tempo.co