Garut News ( Rabu, 19/03 – 2014 ).
Rendahnya capaian pemasangan “radio frequency identification” (RFID) di Jakarta, contoh buruk manajemen energi di negeri ini.
Selain itu, ongkosnya besar dan tak sebanding manfaatnya.
Dari target pemasangan alat monitoring penggunaan bahan bakar bersubsidi pada 4,5 juta kendaraan di Ibu Kota hingga akhir Maret, kini hanya baru terpasang 290 ribu, alias lima persen.
Padahal, pada lima tahun ke depan, PT Inti sebagai pemenang tender kudu memasang alat ini pada 100 juta kendaraan di seluruh Indonesia.
Besarnya biaya investasi juga perlu dipertanyakan.
Dengan konsumsi BBM bersubsidi tahun ini sebanyak 48 juta kiloliter, PT Inti mendapatkan penggantian biaya pemasangan Rp864 miliar.
Artinya, selama masa kontrak lima tahun, PT Inti mendapatkan Rp4,32 triliun-jumlahnya semakin besar jika konsumsi bahan bakar bersubsidi meningkat.
Investasi sebesar itu rasanya tak sebanding manfaatnya.
Melihat penjualan mobil, dan sepeda motor tumbuh fantastis pada lima tahun ini, bisa dijamin konsumsi bahan bakar bersubsidi tak berkurang.
Alat kontrol ini hanya bisa mencatat, tetapi tak mampu mencegah orang mengakali konsumsi bahan bakar bersubsidi.
Mengurangi konsumsi bahan bakar bersubsidi, tak ada jalan lain kecuali menaikkan harga BBM bersubsidi.
Harga bahan bakar lebih mahal tentu mengurangi konsumsi.
Paling tidak, gap atawa subsidi kudu ditutup-akibat konsumsi terus menanjak dan produksi kian menurun-berkurang.
terdapat manfaat lain seketika terasa dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak.
Jika subsidi hanya dikurangi 10 persen, mengacu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014, tersedia Rp21 triliun.
Dana sebesar itu cukup membangun sebagian jalan tol Trans-Sumatera sepanjang 300 kilometer.
Pemerintah bekerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah juga kudu segera mengaktifkan instrumen pengendali konsumsi BBM bersubsidi.
Ada instrumen jalan berbayar (electronic road pricing/ERP); pengurangan jumlah kendaraan bisa beroperasi, misalnya dengan mekanisme nomor kendaraan (ganjil-genap) atawa warna (gelap-terang); dan instrumen mengurangi penyimpangan BBM bersubsidi, terutama solar.
Berbagai instrumen itu sesungguhnya bisa diterapkan bersama-sama agar efektif.
Pengurangan subsidi BBM menjadi keniscayaan.
Produksi, dan konsumsi BBM semakin tak seimbang, sementara harga minyak terus melambung.
Mau tak mau, konsumsi BBM kudu dikurangi jika kita ingin APBN makin sehat.
Ada manfaat lain bisa diperoleh, berkurangnya kemacetan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta atawa Surabaya.
Dengan manfaat ganda itu, sungguh aneh jika pemerintah tak mau menyegerakan penerapannya.
Kecuali, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono memang ingin mengalihkan masalah ini pada presiden baru nanti.
Tentu saja, semua instrumen itu, kudu dipikirkan masak sebelum dioperasikan agar tak sia-sia.
Jangan sampai kasus RFID terulang.
*****
Opini/Tempo.