‘Flaenur’, Persib, Kasus Haringga: Sepak Bola yang Mematikan

‘Flaenur’, Persib, Kasus Haringga: Sepak Bola yang Mematikan

773
0
SHARE
Daftar suporter tewas Persib dan Persija akibat kekerasan enam tahun terakhir. (Foto: Dok Republika).

Selasa 25 September 2018 15:39 WIB
Red: Muhammad Subarkah

“Sepak bola itu menggembirakan, bukan mematikan”

Oleh: DR Iswandi Syahputra, Pengamat Komunikasi UIN Yogyakarta dan penulis buku ‘Pemuja Sepak Bola’.

Daftar suporter tewas Persib dan Persija akibat kekerasan enam tahun terakhir. (Foto: Dok Republika).

Saya sudah menonton video (maaf saya sebut dengan) pembantaian fans Persija), Haringga oleh pendukung yang diduga berasal dari klub Persib. Saya tidak bisa bertahan lama, hanya kuat menontonnya 10 detik. Sangat biadab!!! Maka, dengan alasan itu, saya tidak sebar video tersebut ke manapun.

Lalu bagaimana menjelaskan fenomena ini? Munro (2006) dalam bukunya ‘Sport Fan Culture & Brand Community’ yang saya kutip dalam buku saya ‘Pemuja Sepak Bola’ (halaman 27-31) menjelaskan ada empat tipe khalayak sepak bola.

Pertama. Spectator, penonton sepak bola. Mereka orang netral yang suka sepak bola untuk hiburan tanpa fanatisme klub. Kedua. Supporter, penonton sepak bola yang mendukung salah satu klub sepak bola.

Ketiga, Followers, menonton dan mendukung klub sepak bola karena ikut-ikutan.

Keempat, Flaneurs. Orang yang tidak memiliki tujuan pasti dalam menonton atau mendukung klub sepak bola.

Di luar keempat kelompok itu ada fans club. Mereka terkumpul dalam satu organisasi, punya struktur, memiliki aturan dan sistem relasi antar sesama member.

Kebiadaban penonton yang mengakibatkan Haringga meninggal lebih condong masuk kelompok Flaneurs. Kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai urakan, maniak, ultra agresif, super emosional mudah terprovokasi.

Jika kelompok ini ada dan dibiarkan dalam kumpulan pendukung klub sepak bola, habis sudah masa depan sepak bola kita. Akan selalu muncul kerusuhan dan kebiadaban serupa pada masa yang akan datang.

Dimensi Politik Kematian Haringga

Sesaat setelah viralnya insiden ini, saya menunggu munculnya dua hal, Pertama, bagaimana respons Ketua PSSI Edy Rahmayadi yang juga Gubernur Sumatera Utara yang mulai naik daun terhadap insiden ini?. Kedua, bagaimana respon netizen di media sosial terhadap insiden ini?

Namun, apa yang saya khawatirkan melampaui apa yang saya pikirkan. Sebagai peneliti dan penikmat percakapan di media sosial, dengan memasukkan variabel tertentu, mudah sekali menebak Eddy Rahmayadi bakal jadi sasaran tembak netizen di media sosial.

Mengapa? Karena dia Ketua PSSI?

Namun, itu saja tidak cukup. Ini karena secara politik Edy Rahmayadi adalah Gubernur yang didukung oleh koalisi Adil Makmur. Dugaan saya, satu kluster netizen saat peristiwa ini terjadi, pasti akan mempolitisasi ini dengan menyerang Edy Rahmayadi.

Dan polanya memang selalu begitu untuk dua kluster netizen di media sosial. Jadi memang melampaui perkiraan saya. Edy Rahmayadi memang ‘diserang’ netizen tapi argumen liar yang berkembang bikin saya merinding.

Bukan hanya itu kini ada opini yang berkembang bahwa kelompok biadab yang membantai Haringga adalah pentolan HTI garis keras. Ini hanya karena saat membantai sambil mengeluarkan lafaz religius.

Eh ndilallah almarhum Haringga dari jejak digitalnya di twitter merupakan haters Habib Riziek Shihab dan fans berat Basuki Tjahya Purnama (Ahok). Benar tidaknya, screenshot tersebut sudah tersebar di dunia maya. Bisa ditebak ke mana arah tudingan ini dituju. Ini akan melibatkan dua kluster besar netizen.

Dari perspektif krisis komunikasi, ini gejala awal bagi Edy Rahmayadi mendapat krisis komunikasi beruapa sentimen negatif. Saya berharap, Edy (dalam kapasitas Ketua PSSI) menggelar konperensi pers menjelaskan situasi, penanganan, dan antisipasi keadaan.

Elahdahlah, saat diwawancarai Aiman di Kompas TV, Edy Rahmayadi sedikit buat blunder. Agaknya Edy belum paham kondisi kebatinan publik bahwa saat ini dirinya lagi mendapat sorotan. Walau pertanyaan Aiman agak nakal dam tidak relevan, tapi tidak seharusnya Edy menjawab dengan tone arogan.

Era saat ini, era baru dimana siapa saja, kapan saja, dimana saja dapat memberi komentar tentang apa saja. Insiden tersebut jadi amunisi satu kluster netizen menyerang Edy di media sosial.

Agaknya Pak Edy, dan siapa saja pejabat publik selain perlu dokter pribadi, staf pribadi, memang perlu konsultan komunikasi pribadi.

Belajar dari Fans Eropa

Melalui riset saya soal ini yang telah menghabiskan waktu hampir dua tahun dan harus dua kali kembali ke Eropa untuk menemukan data tambahan, gejala ini sudah saya tengarai. Hasilnya pun telah dimuat dalam buku ‘Pemuja Sepak Bola’.

Di dalam buku itu, saya jelaskan bahwa industri sepak bola di Eropa pada masa awal juga mengalami seperti yang kita alami saat ini.

Namun mereka relatif dapat menyelesaikan masalah ini dengan literasi bagi fans sepak bola.

Di klub Eropa, ada semacam kurikulum untuk literasi bagi fans. Mulai dari membuat chant, koreografi, hingga kerja sosial yang diajarkan kepada semua member fans club.

Literasi tersebut melahirkan grade anggota fans club. Misalnya fans senior Grade A, B dan C.

Kategori senior grade A ini misalnya dijadikan semacam ‘suhu’, maka jangan dilawan. Ini diperlukan untuk meredam fans pemula yang urakan, ultra agresif, dan super emosional.

Pada praktiknya, karena semua fans klub dikelola dengan cara yang baik, maka kerusuhan dapat ditekan. Sesekali kerusuhan memang masih muncul, namun itu insiden dan biasanya lebih pada melibatkan emosi nasionalisme pada laga antar klub antar negara.

Nah, untuk aktivitas tersebut, manajemen fans club memperoleh dana dari klub. Tapi pada saat bersama, mereka punya ‘kewajiban’ menonton dengan membayar menggunakan kartu berlangganan. Ini bisnis, ini industri harus saling menguntungkan.

Dampaknya, maka jika ada kerusuhan yang melibatkan fans, klub bisa didenda tinggi. Akibatnya, manajemen klub mau tidak mau harus berhubungan baik dengan manajemen fans. Manajemen fans, mau tidak mau harus bekerja keras ‘menertibkan’ membernya yang berpotensi anarkis. Lingkar kerja dalam relasi yang menguntungkan.

Ingat, sepak bola adalah bisnis, sepak bola adalah industri.

Bagaimans kemudian menuntaskan kasus Haringga? Saya sarankan semua berfikir jernih dan proporsional dengan mempertimbangkan: 1). Beri penghormatan pada Harlingga dan santunan pada keluarganya. 2). Hukum pelaku dengan adil.3). Beri sanksi pada Persib.

4). Lakukan pembinaan pada fans klub. 5). Cooling down untuk semua jenis laga pada masa waktu tertentu. 6). Hentikan spekulasi dan kebencian di media sosial.

Sepak bola itu menggembirakan, bukan mematikan.

*******

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY