Eddi Elison, Pengamat Sepak Bola Nasional
Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 08/01 – 2016 ).
Federasi Internasional Asosiasi Sepak Bola (FIFA) telah mengirim utusannya ke Indonesia pada awal November 2015. Bahkan delegasi yang dipimpin Kohzo Tashima dari Jepang itu sudah mengadakan pembicaraan dengan Presiden Joko Widodo.
Presiden pun telah pula menyampaikan masukan tentang kondisi persepakbolaan nasional secara komprehensif. Dari pertemuan tersebut, kemudian disepakati pembentukan Tim Kecil.
Namun permasalahan sepak bola Indonesia sampai saat ini masih saja menggantung. Tidak ada penyelesaian, padahal telah dibahas dalam Sidang Exco FIFA pada awal Desember lalu di Zurich, Swis. Mengapa bisa jadi begitu?
Dari perkembangan tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa permasalahan persepakbolaan nasional belum dapat diselesaikan akibat dua sebab.
Pertama, FIFA dan pemerintah Indonesia sama-sama ingin segera mengkondisikan sepak bola Indonesia kembali normal, namun visi, misi, dan tujuan keduanya berbeda. FIFA, seperti yang dikehendaki Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), ingin pemerintah segera mencabut pembekuan PSSI agar FIFA membatalkan “banned” terhadap PSSI.
Kedua, pemerintah menginginkan perubahan total PSSI, sehingga harus dilaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) agar dapat melenyapkan praktek permafiaan dalam tubuh sepak bola nasional, seperti pengaturan skor, sepak bola gajah, dan transaksi “wani piro” melalui bisnis gol.
Karena itu, klub-klub harus bonafide, sehingga mampu bayar gaji atau honor pemain, perangkat pertandingan, dan pajak. Penghapusan gratifikasi terhadap wasit, yang saat ini bisa dirasakan akibatnya tapi sulit dibuktikan, seperti yang “buang angin” di tengah orang banyak.
Uraian poin pertama, apa yang diinginkan FIFA/PSSI seperti menempatkan posisi FIFA di mata pemerintah sebagai organisasi plinplan.
Setelah membentuk Komite Ad-Hoc Reformasi PSSI, FIFA menetapkan pimpinan dan anggota Komite yang “dikuasai” oleh orang PSSI, yakni Agum Gumelar (Ketua), I.G. Manila (Wakil Ketua), dengan anggota Joko Driyono, Mahfuddin Nigara, Tommy Welly, Monica Desideria, Bambang Pamungkas, dan Raja Parlindungan Pane.
Padahal, seperti diumumkan FIFA sebelumnya, Komite Ad-Hoc terdiri atas utusan berbagai lembaga, termasuk pemerintah. Karena nama-nama berasal dari PSSI, jelas yang masuk adalah “orang-orangnya” sendiri, padahal PSSI masih dibekukan pemerintah, sehingga terciptalah sistem “jeruk makan jeruk” ala MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) DPR, bila terjadi sidang.
Keinginan membentuk Komite ini sama sekali tidak disinggung dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi, karena saat itu FIFA dan Presiden sepakat membentuk Tim Kecil. Karena itu, sampai saat ini pemerintah tidak bersedia duduk dalam Komite Ad-Hoc, meski Rapat Exco FIFA awal Desember lalu di Zurich mengharuskan pemerintah masuk.
Bagaimana FIFA, yang diisi oleh orang-orang yang terlibat skandal korupsi, harus mendikte negara Indonesia yang berdaulat? Kita pantas menduga, dengan dibentuknya Komite Ad-Hoc dan menetapkan orang-orang dipilihnya mayoritas orang PSSI, bukan mustahil FIFA telah “masuk angin”.
Uraian poin kedua, terkait dengan reformasi total terhadap persepakbolaan nasional, sebenarnya akan “running well” jika FIFA tidak plinplan.
Apalagi setelah pemerintah memenuhi kesepakatan dengan membentuk Tim Kecil yang terdiri atas lima orang: Makarim Wibisono (mantan Dubes RI di PBB), Djoko Susilo (mantan Dubes RI di Swiss), Rita Subowo (mantan Ketua Umum KONI), Gatot Dewa Broto (Deputi V Kementerian Pemuda dan Olahraga), serta Dede Sulaiman (mantan pemain nasional).
Sikap plinplan dan “anggap sepi” terhadap pembentukan Tim Kecil yang dilaksanakan Istana sesuai dengan kesepakatan Presiden dan FIFA pada 2 November 2015 dinilai Djoko Susilo sebagai pelecehan terhadap Presiden Joko Widodo.
Wajar jika Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi memutuskan akan menunggu sampai Kongres FIFA pada 26 Februari 2016.
*********
Artikel/Kolom Tempo.co