Garut News, ( Rabu, 16/10 ).
Suatu hari awal 2012, saya berkesempatan berdiskusi dengan Hasan Djafar, seorang ahli arkeologi, epigrafi, dan sejarah kuno.
Lelaki dengan tutur dan penampilan bersahaja itu akrab dipanggil ”Mang Hasan”.
Saya menyampaikan padanya tentang sesuatu menjadi panutan umum: Majapahit punya wilayah Nusantara, teritorinya seperti Republik Indonesia.
”Itu omong kosong!” ujar Hasan.
”Tidak ada sumber mengatakan seperti itu.”
Dia mengingatkan, jika sejarah kudu berdasar sumber berarti semuanya kudu kembali ke sumber tertulisnya.
”Wilayah Majapahit itu terdapat di Pulau Jawa. Itu pun hanya Jawa Timur dan Jawa Tengah.”
”Sayang sekali banyak ahli sejarah menafsirkan, Nusantara itulah wilayah Majapahit!”
Menurutnya, makna ”nusa” adalah ”pulau-pulau atau daerah”, sedangkan ”antara” adalah ”yang lain”.
Jadi, Nusantara pada masa Majapahit diartikan sebagai ”daerah-daerah yang lain” lantaran kenyataannya memang di luar wilayah Majapahit.
Nusantara merupakan koalisi di antara kerajaan-kerajaan turut bekerja kepentingan bersama untuk keamanan dan perdagangan regional, demikian hemat Hasan.
Mereka berkoalisi sebagai ”mitra satata” sahabat, atawa mitra dalam kedudukan sama.
”Jangan diartikan kepulauan di antara dua benua,” kata Hasan.
”Bukan pula nusa lokasinya di antara.”
Sebagai kerajaan adikuasa setelah zaman Sriwijaya berakhir, Majapahit tetap berkepentingan dengan wilayah kerajaan-kerajaan itu sebagai daerah tujuan pemasaran, dan sebagai penghasil sumber daya alam berpotensi perdagangan.
Memang ada jalinan hubungan.
Namun, hubungan ini tak kudu seperti penguasa dan yang dikuasai, bukan kekuasaan dalam artian politik.
Ini adalah hubungan kepentingan bersama sehingga Majapahit juga berkepentingan mengamankan, dan melindungi wilayah-wilayah itu.
Meski demikian, sampai hari ini masih saja ada tafsir, kerajaan-kerajaan itu memberikan upetinya setiap tahun pada Majapahit.
Hal ini seolah membuktikan ketundukan kerajaan-kerajaan Nusantara di bawah supremasi Majapahit.
”Ini sering ditafsirkan sebagai upeti,” ujar Hasan.
”Padahal, tak ada satu kata pun dalam Nagarakertagama, bisa diartikan sebagai upeti, apalagi upeti tanda tunduk seolah menjadi negara jajahan Majapahit.”
Berdasar uraian Nagarakertagama, Majapahit memang punya tradisi mengadakan suatu pesta besar setiap tahunnya.
Semua penguasa wilayah–wilayah kerajaan itu diundang dan ada memberikan hadiah-hadiah pada raja Majapahit, dan menurut Hasan hadiah itu bukanlah upeti.
”Buktinya, sejak Majapahit berkuasa sampai runtuh pun daerah-daerah itu bebas merdeka.”
Lalu mengapa sampai terdapat anggapan, Nusantara itu wilayah Majapahit?
”Barangkali lantaran The Founding Fathers kita ingin menyatukan negara ini,” ujar Hasan lirih.
Kemudian ”Muhammad Yamin—salah satu tokoh pendiri negara Indonesia—menggunakan gagasan Nusantara sebagai bentuk negara kesatuan.”
Di sebuah toko buku bekas di Jakarta, saya pernah menemukan karya Yamin dimaksud oleh Hasan.
Yamin pernah menulis sebuah buku Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara, terbit kali pertama pada 1945, dan dicetak ulang belasan kali.
Buku itu mengisahkan epos kepahlawanan Gajah Mada sebagai Patih Kerajaan Majapahit.
Dalam lampirannya terdapat secarik peta wilayah Indonesia, terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud, dengan judul ”Daerah Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit”.
Tentang peta ini, Djafar mengungkapkan, ”gagasan persatuan ini oleh para sejarawan ditafsirkan sebagai wilayah Majapahit sehingga seolah ada penaklukan. Itu salahnya!”
Yamin, dalam buku tersebut, juga menampilkan foto sekeping terakota mewujudkan sosok wajah lelaki berpipi tembam dan berbibir tebal.
Di bawah foto sosok itu, Yamin dengan keyakinan ilmu firasat menuliskan, ”Gajah Mada… Rupanya penuh dengan kegiatan mahatangkas dan air mukanya menyinarkan keberanian seorang ahli politik berpemandangan jauh.”
Namun, belakangan saya menyaksikan kepingan terakota itu di Museum Trowulan, sejatinya bagian dari celengan kuno dan tak ada kaitannya dengan Gajah Mada.
Buku Yamin itu, secara tak kita sadari, menjadi panutan sekolah-sekolah dasar di Indonesia hingga lembaga pemerintahnya.
Kini, sebuah patung lelaki bertubuh gempal berwajah seperti dalam buku Yamin itu berdiri pada halaman Mabes Polri di Kebayoran Baru.
”Itu skandal ilmiah dalam sejarah,” ujar Hasan.
(Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia).
Editor : Yunanto Wiji Utomo/ Kompas.com