Jalal, Aktivis Lingkar Studi Corporate Social Responsibility (CSR, www.csrindonesia.com)
Jakarta, Garut News ( Rabu, 30/10 ).
Laman Tempo.co (27 Oktober 2013) menyatakan bahwa pada 28 Oktober-1 November, unjuk rasa buruh dan mogok kerja dalam skala besar akan dilaksanakan di Jakarta dan kota-kota yang lain di Indonesia.
Tentu, lantaran sebagian besar warga Indonesia adalah mereka yang bukan dari kelas atas, tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh bukanlah hal yang buruk.
Sebagian besar masyarakat Indonesia mendukung tujuan tersebut dan menginginkan keberhasilan buruh dalam mencapai apa yang mereka cita-citakan.
Sayangnya, bagaimana tujuan itu hendak dicapai telah membuat banyak orang menjadi tidak simpati kepada gerakan buruh secara keseluruhan.
Tulisan ini hendak mendiskusikan hal-hal apa saja yang membuat berbagai kalangan menarik dukungannya terhadap gerakan buruh, dan apa yang dapat dilakukan oleh kaum buruh dan pemangku kepentingan untuk memperbaiki kondisi ini.
Jelas bahwa demonstrasi buruh selalu menyebabkan kerugian langsung yang sangat besar.
Besaran demonstrasi berbanding lurus dengan kerugian yang harus ditanggung banyak pihak.
Tentu, perusahaan-perusahaan tempat buruh tersebut bekerja kehilangan jutaan jam kerja.
Kalau kemudian diuangkan, puluhan atau bahkan ratusan miliar rupiah akan menguap selama hari-hari demonstrasi buruh.
Namun yang menderita kerugian terbesar tentu saja adalah masyarakat.
Mobilitas masyarakat yang terhambat adalah kerugian yang sesungguhnya jauh lebih besar dibanding jumlah yang selalu digembar-gemborkan dari sisi perusahaan.
Di antara anggota masyarakat yang mobilitasnya terhambat adalah mereka yang bekerja dengan status pengupahan atau pendapatan harian.
Begitu mereka tak bisa bekerja dengan normal, maka apa yang mereka biasa dapatkan dalam sehari kemudian hilang.
Karena itu, setiap kali demonstrasi buruh besar terjadi, para pengemudi taksi menjadi mendidih darahnya.
Terbayang di benak mereka anak dan istrinya yang tak kebagian ongkos sekolah dan makan yang layak.
Kerugian berupa orang sakit yang tak mencapai pertolongan yang dibutuhkannya sangatlah tak ternilai.
Terdengar banyak cerita mengenai ibu yang melahirkan tanpa pertolongan yang memadai, juga orang sakit yang meregang nyawa di tengah kemacetan akibat demonstrasi.
Lalu, entah berapa banyak emisi karbon dioksida dan polutan lainnya yang dilontarkan ke atmosfer sepanjang kemacetan.
Demonstrasi buruh juga telah menyebabkan dampak tak langsung berupa perusahaan yang kehilangan kepercayaan dari pelanggannya serta trauma yang membekas di antara buruh yang tak mau berdemonstrasi tapi dipaksa melakukannya di bawah ancaman.
Perusahaan-perusahaan yang menggunakan pola produksi padat tenaga kerja kebanyakan menggantungkan hubungan dengan klien berdasarkan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas, di samping hal-hal lain seperti harga.
Begitu demonstrasi buruh terjadi dalam skala besar, dasar bisnis tersebut goyah.
Banyak perusahaan di Indonesia yang kemudian terkena penalti dari kliennya, ada yang harus membayar kerugian akibat wanprestasi, bahkan hingga kehilangan pesanan yang selama ini mereka layani.
Demonstrasi buruh kerap dilakukan dengan jalan memaksakan buruh lainnya untuk juga menjadi demonstran.
Demonstrasi tidak lagi dilihat sebagai hak dan salah satu cara untuk berjuang, melainkan dilihat sebagai kewajiban bagi seluruh orang yang dimasukkan ke dalam kelas buruh, juga sebagai satu-satunya alat perjuangan yang sah.
Mereka yang tidak mau berdemonstrasi dipandang tak memiliki solidaritas kelas dan tak berjuang demi kesejahteraan bersama.
Pemaksaan itu sendiri sudah menjadi pertanda bahwa buruh mungkin bukanlah sebuah kelas sosial atau kelompok yang solid, melainkan sekadar kategorisasi sosial, sebagaimana jenis kelamin.
Sedangkan mereka yang melakukan pemaksaan itu tak dapat melihat bentuk perjuangan lain yang juga dilakukan oleh buruh yang tak ikut berdemonstrasi.
Dalam jangka yang lebih panjang, demonstrasi buruh telah membuat negara Indonesia juga mengalami masalah kepercayaan dari para investor.
Jelas, negara kita memiliki sejumlah besar keunggulan komparatif bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, sehingga kita masih terus menjadi tempat berinvestasi yang dipandang layak.
Kita juga tak ingin terus-menerus membanggakan diri dengan tenaga kerja yang murah sebagai keunggulan utama.
Kita seharusnya bisa berbangga akan tenaga kerja yang memiliki keterampilan tinggi, produktivitas di atas negara-negara tetangga, dengan harga yang pantas untuk keterampilan dan produktivitasnya.
Sayangnya, kita belum juga bisa menyatakan demikian.
Buruh kita tidak lagi murah, tapi keterampilan dan produktivitasnya belum bisa dibanggakan.
Selain itu, demonstrasi yang besar, yang kerap merusak dan menggunakan kekerasan terhadap pihak lain, dipandang sebagai hal yang negatif.
Kerap terhentinya produksi akibat demonstrasi juga menjadi catatan negatif di benak para investor.
Mungkin para aktivis gerakan buruh-bukan hanya yang berada di pucuk pimpinan, tapi juga hingga para pelaku lapangannya-perlu berpikir ulang.
Apakah mereka akan terus menggunakan cara-cara yang membuat mereka tak populer di mata masyarakat luas, merisikokan perusahaan tempat mereka bekerja, menimbulkan antipati di kalangan buruh non-demonstran, dan membahayakan daya saing negara?
Apakah tak ada cara perjuangan lain yang bisa dilakukan, yang mungkin lebih efektif dalam mencapai tujuan, tanpa harus menimbulkan ekses negatif yang sedemikian besar?
Dalam kitab Seabad Gerakan Buruh Indonesia (Hidajat, 2013) diungkapkan bahwa setidaknya ada lima tipe gerakan buruh di level global, yaitu trade unionism, social democratic trade unionism, anarcho syndicalism, tendentious trade unionism, dan business unionism.
Di Indonesia, gerakan buruh didominasi oleh tipe ketiga dan keempat, yang menyebabkannya cenderung bersifat keras dan berkelindan dengan kepentingan politik pihak tertentu (kalau bukan malah menjadi wayang politik saja).
Tentu tak semudah membalik telapak tangan untuk menggeser pola yang sedemikian lama telah terbentuk.
Namun, dengan ekses negatif yang sedemikian besar, sudah saatnya para aktivis memikirkan ulang tata caranya memperjuangkan kesejahteraan.
Di sisi perusahaan sendiri sangat jelas banyak yang harus dibenahi kalau tak ingin buruh menjadi semakin condong pada cara-cara yang merugikan banyak pihak.
Kalau model bisnisnya tak memungkinkan perusahaan menjamin kesejahteraan buruhnya, sebaiknya memang tak perlu berbisnis karena hanya akan menimbulkan eksternalitas yang harus ditanggung buruh dan keluarganya.
Tuntutan hak-hak normatif buruh, apalagi yang sudah menjadi regulasi, adalah harga mati yang harus dipenuhi perusahaan.
Sedangkan para politikus hendaknya tidak menunggangi perjuangan menggapai kesejahteraan buruh untuk tujuan kekuasaan.
***** Tempo.co