Ngarto Februana, Ngarto@tempo.co.id
Jakarta, Garut News ( Ahad, 17/11 ).
“Zaman dulu, zaman sekarang, zaman akan datang, semua itu zaman edan,” kata kawan saya.
Dia teman lama, sesama aktivis waktu berkuliah di Yogya, yang sudah lebih dari 15 tahun tak pernah ketemu.
Setamat kuliah, kami menjalani “nasib” masing-masing.
Yang saya tahu, ia meneruskan karier di bidang politik-yang juga dilakoni sejumlah mantan aktivis mahasiswa yang meniti karier di partai politik.
Belakangan, saya tahu ia anggota DPRD di salah satu provinsi di luar Jawa.
Kebetulan, waktu ke Jakarta, ia sengaja menemui saya di sebuah warung kopi di Cikini.
Gayanya masih seperti dulu, celelekan dan suka bercanda.
Tapi wajah dan tubuhnya sudah banyak berubah.
Ia kini makmur: gemuk, berperut buncit, bermuka tembem, dan berkulit bersih.
Sangat berbeda dengan kondisinya saat mahasiswa: kumal, agak kurusan, dan jarang mandi.
“Mangsudmu?” tanyaku.
“Yo, wis edan kabeh. Edan, ora edan, pasti keduman,” katanya dalam bahasa Jawa, yang artinya: semua sudah gila; gila, tidak gila, pasti kebagian.
Rupanya si kawan ini sengaja mengutip istilah zaman edan dari syair Ronggowarsito, pujangga Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta pada 1800-an.
“Kamu ini mau ngomong apa? Lama nggak ketemu, mbok, ya, cerita yang bagus-bagus.”
“Koruptor sekarang sudah edan tenan. Nggak tanggung-tanggung. Apa saja diembat… Sanak saudaranya diajak edan, kalau nggak ikut edan, tidak kebagian.”
Benar juga, pikirku.
Sang kawan itu lantas mengutip syair Ronggowarsito dalam Serat Kalatida.
Salah satu bait yang terkenal berbunyi: amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik…. Kira-kira artinya: menyaksikan zaman edan, ikut edan tidak tahan, kalau tidak ikut edan, tidak kebagian.
Terus terang saya bosan mendengar, membaca, dan menonton berita tentang korupsi.
Walau para koruptor ditangkapi, bukannya kasus korupsi berkurang, malah semakin banyak.
Pegawai pajak, pegawai bea-cukai, anggota kepolisian, ditangkap terkait kasus korupsi.
Sejumlah kepala daerah, di antaranya bupati, wali kota, gubernur, dipenjara karena korupsi.
Beberapa petinggi negara, menteri, dan anggota Dewan dijebloskan ke tahanan.
Semua tak luput dari pemberitaan di koran, televisi, media online.
Dan itu semua dibaca, ditonton jutaan orang. Bahkan keluarga para koruptor itu juga menonton.
Dan berita macam itu hampir setiap hari muncul.
Kadang saya sering merenung, apa mereka tidak malu?
Apa keluarganya tidak malu?
“Yang namanya orang edan, ya, tidak punya malu,” celetuk teman saya.
Sebenarnya saya ingin mengalihkan pembicaraan dengan alasan, ya, itu tadi, bosan ngomongin soal korupsi.
Sesak rasanya dada ini membayangkan bagaimana para koruptor itu menggasak duit miliaran rupiah.
Apalagi menyaksikan tas mewah si tersangka kasus korupsi seharga ratusan juta rupiah.
Bayangkan, hanya sebuah tas sampai empat kali lipat harga rumah tipe 36 milik saya, yang harus saya cicil selama 15 tahun.
“Kalau kamu disuruh milih, jadi orang edan, ora edan, ikut-ikutan edan, atau….”
“Aku pilih jadi orang waras. Percaya padaku, Bung, aku masih waras. Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang ingat dan waspada.”
Nah, itu juga syair Ronggowarsito, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada.
Syukurlah kawan saya itu-juga semoga kawan-kawan seperjuangan dulu-selalu ingat dan waspada agar tidak ikut-ikutan edan.
**** Sumber : Kolom/ Artikel : Tempo.co