Dokter

Dokter

800
0
SHARE

Garut News ( Ahad, 01/12 ).

Ilustrasi, Bhakti Sosial Kemasyarakatan dari Kalangan Dokter di Garut, Jabar. (Foto : John).
Ilustrasi, Bhakti Sosial Kemasyarakatan dari Kalangan Dokter di Garut, Jabar. (Foto : John).

Dengan bergegas saya mengunjungi Romo Imam di padepokannya.

Beliau lagi sakit dan tiduran di sofa. Tidak ke dokter, Romo?

Pertanyaan saya hanya dijawab ringan: “Malu ke dokter,” katanya. “Mereka lagi dapat masalah, para dokter memperjuangkan nasibnya, tapi banyak yang mencela.”

Saya mendekat. “Jangan malu, Romo. Orang yang mencela itu saja tak malu-malu ke dokter, apalagi Romo yang bijak menempatkan permasalahannya. Apa perlu saya antar? Para dokter sudah berhenti mogok.”

“Bukan mogok, aksi solidaritas,” Romo cepat memperbaiki ucapan saya. “Maaf, Romo, bukankah itu artinya sama? Pasien jadi telantar, di NTT malah ada yang melahirkan sendiri tanpa pertolongan dokter. Padahal janjinya aksi dokter itu tak mengurangi pelayanan.”

Tiba-tiba Romo duduk dan menatap saya.

“Niat mereka memang tak mengganggu pelayanan, buktinya unit rawat darurat tetap dibuka. Tapi ada yang lebih berkuasa mengatur, agar kasus ini mendapatkan perhatian serius. Ini sangat penting, mencari solusi bagaimana sebaiknya memenjarakan dokter.”

“Dokter tak boleh kebal hukum, presiden dan wakilnya juga tak boleh,” kata Romo lagi.

“Dokter yang korupsi harus dihukum, dokter menabrak orang sampai meninggal harus dihukum, jangan seperti anak menteri itu yang bisa bebas setelah nabrak. Tapi dokter yang tak berhasil mengobati pasiennya sehingga meninggal dunia, kenapa harus dihukum?”

“Karena lalai, Romo,” jawab saya.

“Lalai menurut siapa?”

Romo menatap tajam saya.

“Lalai menurut hakim yang tak memahami pekerjaan seorang dokter. Lalai menurut jaksa. Hakim yang tak tahu pekerjaan dokter itu harusnya menjatuhkan vonis berpedoman pada saksi ahli. Juga pada sidang komite etik. Hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi mendengarkan saksi ahli ini secara langsung, lalu membebaskan dokter yang dianggap lalai oleh jaksa itu. Kenapa hakim kasasi yang tak menghadirkan saksi ahli jadi mengabaikan keterangan itu?”

“Hakim kasasi sekarang ini lagi gemar memperberat hukuman. Itu bagus untuk efek jera, tetapi buat koruptor. Kalau menghukum dokter dengan niat ada efek jera, maka efek jera itu merugikan masyarakat. Dokter jadi jera menangani pasien yang gawat. Kalau meninggal, apa tak masuk bui? Dokter jadi tak mau mengoperasi pasien kalau tak ada persetujuan keluarganya. Kalau ada kecelakaan, pasien kritis diantar oleh polisi atau orang lain, dan dokter merasa perlu penanganan operasi, apa harus menunggu keluarga korban yang entah ada di mana? Efek jera yang diniatkan hakim ini sangat keliru.”

Saya kasihan Romo terlalu banyak bicara.

“Sekarang solusinya bagaimana, Romo?” Tanya saya.

“Hidupkan kembali peradilan khusus profesi kedokteran yang dihapus dalam undang-undang tahun 2004. Aksi solidaritas dokter, ya, dihentikan saja, karena pengamat mulai mengaitkan dengan moral, sumpah dokter, dan tetek bengek lainnya. Padahal yang diperjuangkan dokter adalah juga moral. Harus ada sebuah rumusan, sejauh mana dokter dianggap lalai sehingga perlu dihukum jika pasiennya meninggal dunia. Sepanjang dokter bekerja benar menurut profesi yang sesuai dengan etika kedokteran, bukan berdasarkan penilaian orang luar, jangan kaitkan dengan kematian pasien. Dokter bukan malaikat yang selalu bisa menyembuhkan. Kematian di tangan Tuhan.”

Saya menyodorkan air minum ke Romo, dan beliau berbisik: “Dokter boleh dihujat karena aksi ini, apalagi itu dilakukan saat penghujat lagi sehat-sehatnya. Ingat, suatu saat penghujat akan sakit, di situ akan disadari ternyata dokter manusia biasa juga, butuh ketenangan dan kepastian dalam bekerja.”

***** Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY