Sabtu , 29 July 2017, 06:00 WIB
Red: Joko Sadewo
REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Asma Nadia
Ada ketidakadilan yang selalu terjadi di Palestina, sebenarnya juga menimpa setiap muslim di dunia. Ketika warga negara Israel atau umat lain melakukan kejahatan, maka itu adalah perilaku oknum atau individu. Akan tetapi jika satu orang Palestina atau muslim melakukan kekerasan, maka dianggap sebagai aksi komunitas dan sistematis akan ditanggung seluruh masyarakat.
Tahun 1994, Baruch Goldstein memasuki Mesjid Ibrahimi atau dikenal bangsa Yahudi sebagai Cave of the Patriarchs di Hebron dan membantai 28 warga Palestina yang sedang beribadah serta melukai 128 lainnya.
Jika tidak buru-buru ditangkap massa dan dipukuli hingga tewas, mungkin ratusan nyawa akan melayang. Saksi hidup menyaksikan bagaimana pelaku benar-benar haus darah, menembaki siapa saja, berusaha membantai sebanyak mungkin.
Ketika itu dunia tidak mengecam Israel, karena menganggap yang terjadi merupakan aksi individu. Padahal eksekutor mengenakan seragam tentara Israel lengkap dengan amunisi penuh, memasuki area masjid. Ia bertugas sebagai tenaga kesehatan di IDF atau Israel Defense Force serta dikenal sangat anti Arab.
Pemuda yang lahir di Brooklyn Amerika dan mulai menjadi warga Israel pada 1983 ini menolak untuk mengobati atau merawat orang Arab, bahkan keturunan Arab yang bergabung di Israel Defense Force. Baginya, haram merawat orang non Yahudi bahkan meski dibayar sekalipun.
Dengan kata lain, menerima ekstremis Yahudi merupakan bagian dari kebijakan Israel Defense Force. Jadi tidak berlebihan jika semua terjadi karena sistem. Tapi sekali lagi, jika pelaku pembantaian adalah orang Israel, tetap dianggap hanya kesalahan oknum.
Kejadian tersebut memicu kerusuhan dan demonstrasi besar-besaran yang mengakibatkan dua puluh lima warga Palestina tewas. Muslim menjadi korban, dan ketika menuntut keadilan kembali menjadi korban.
Tapi karena terdapat lima warga Israel yang tewas akibat panasnya suasana, sekitar 120.000 warga Palestina harus terkungkung jam malam selama 2 minggu. Sekali lagi, korban menjadi korban.
Dunia diam.
Sejarah demikian selalu berulang, pun baru-baru ini.
Sebuah insiden menewaskan tiga warga Palestina dan dua polisi Israel. Seperti biasa jika pelaku warga Palestina maka dianggap bukan tindakan oknum, melainkan komunitas. Dan seluruh muslim di sana harus menanggung risiko.
Merespons kejadian tersebut, tentara Israel langsung berdatangan dan menembaki peluru karet ke setiap matras dan sajadah tempat umat Isla, sholat dan memasang metal detector, CCTV kamera, serta pagar dan pintu putar. Sholat lalu dilarang dan dibatasi.
Tindakan yang kemudian memicu kerusuhan lebih besar. Dan sekali lagi, muslim menjadi korban. Setidaknya 5 warga Palestina meninggal dunia dan 900 lainnya luka-luka.
Meskipun dunia mendukung berdirinya Negara Palestina dan mengajukan solusi dua negara sebagai penyelesaian konflik, kenyataannya Israel masih terus memperluas kekuasaan, menambah semakin banyak perumahan bagi bangsa Yahudi.
Dan pemasangan metal detector semakin memperkukuh apa yang ada di benak Israel, bahwa mereka adalah penguasa satu-satunya. Sebaliknya, itu menjadi simbol penjajahan yang harus dilawan bangsa Palestina.
Saat ini setidaknya sekitar 400.000 anak yang lahir di Jerusalem dan status mereka bukanlah warga negara, melainkan permanen residen. Miris, mereka menjadi bangsa asing di tanah sendiri.
Bangsa Palestina sadar akan hal ini, mereka tidak bisa hanya menunggu dukungan dunia, melainkan harus terus berjuang dengan darah, air mata, hingga nyawa untuk sebuah kemerdekaan.
Setelah belasan hari dalam prahara, bangsa Palestina berhasil membuat Israel mengangkat pagar dan metal detector. Hanya CCTV yang tersisa dan masih dituntut untuk dilepas.
Hingga saat ini, Palestina telah menjadi penjara paling luas di dunia dengan jumlah tahanan mencapai jutaan warga yang tidak mempunyai akses ke dunia luar. Akan tetapi, dunia bisu. Berpura-pura tidak tahu. Seolah apa yang terjadi di sana, bukanlah perkara besar.
Pertanyaannya, sampai kapan muslim di seluruh dunia, hanya diam menyaksikan?
********
Republika.co.id