Ahad , 07 Mei 2017, 05:00 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irsyad Al Ghifari *)
“Pangan adalah hidup matinya suatu bangsa”, ujar Ir. Soekarno. Bapak pendiri bangsa tersebut sudah memprediksi bahwa suatu negara akan berdaulat bila mampu mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya.
Bahkan, Food and Agriculture Organization (FAO) Dunia menjelaskan bahwa jika (ketahanan pangan) tidak ditangani serius akan terjadi perang dunia. Itu bukan disebabkan persoalan politik, melainkan orang akan bertempur memperebutkan pangan di belahan dunia manapun.
Itu artinya, Indonesia akan mengalami ancaman yang besar dari negara-negara asing agar mampu menguasai sumber daya alam nya yang notabene di masa depan akan mengalami krisis pangan yang luar biasa.
Pemerintah Indonesia melalui Badan Ketahanan Pangan Nasional serius untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, salah satu caranya adalah impor. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras Indonesia sebesar 1,2 juta ton selama periode Januari – November 2016.
Angka ini meningkat sekitar 110,66 persen atau 630,38 ribu ton jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 569,62 ribu ton. Memang, kebijakan impor tersebut masih menuai kontroversi. Bila kebijakan tersebut memiliki landasan ekonomi kerakyatan, seharusnya jumlah impor tersebut dapat dibatasi.
Kebijakan tersebut tampaknya belum sesuai dengan janji kampanye Presiden Joko Widodo yang dituangkan dalam Nawa Cita. Salah satu program yang tertuang dalam Nawa Cita pemerintahan Jokowi-JK dalam sektor pertanian adalah meningkatkan kepemilikan petani atas tanah pertanian menjadi rata-rata 2 hektar (saat ini masih di bawah 0,75 hektare), dan meningkatkan swasembada pangan dalam rangka ketahanan pangan.
Meskipun pemerintah belum sepenuhnya menjalankan janji tersebut, Institut Pertanian Bogor siap menjadi garda terdepan sekaligus mitra terbaik pemerintah dalam mewujudkan Nawa Cita tersebut. Namun, sayangnya IPB selalu menjadi kambing hitam atas kegagalan pemerintah dalam menekan harga murah sembako, menekan harga barang pokok menjelang puasa dan lebaran, jumlah produktivitas padi lokal, dan bahkan diancam dibubarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Pertahanan Nasional, Ferry Mursyidan Baldan. (Kompas, 10 Juni 2016)
Bahkan, akhir-akhir ini terdapat pemberitaan tentang deklarasi khilafah oleh mahasiswa yang di lakukan di Institut Pertanian Bogor. Saya kaget karena kejadian itu hampir satu tahun yang lalu (25-27 Maret 2016) dan setelah itu tidak terjadi apa apa di berita nasional.
Apakah ini dampak dari kekalahan petahana pada Pilkada DKI Jakarta 2017 sehingga disebarkan isu tentang islamophobia? Tentu, perlu analisis mendalam terkait hal itu. Namun, yang menjadi perhatian adalah apakah Institut Pertanian Bogor menjadi Institusi pengkhianat bangsa karena meniadakan ideologi Pancasila sebagai dasar negara? Mari kita simak tujuh fakta di bawah ini.
Pertama, IPB konsisten ciptakan karya Inovasi bagi bangsa. Sejak tahun 2008-2016, sudah ada 355 Karya Inovasi yang IPB hasilkan dan mendapatkan predikat Kampus Paling Inovatif 2016 di Indonesia. Kedua, IPB berkontribusi dalam Revolusi Agraria Indonesia sehingga mencapai swasembada pangan di tahun 1984 yang salah satunya karena program Bimbingan Massal (Bimas) IPB.
Ketiga, melalui penemuan Dr Hajrial Aswidinnor (Dosen Agronomi dan Holtikultura IPB) yaitu Padi IPB 3S, produktivitas petani mampu mencapai 8,5-11 ton per hektar. Hal ini sesuai dengan program Nawa Cita Presiden Joko Widodo yang telah disebutkan di atas.
Keempat, IPB menanamkan pendidikan Pancasila sejak semester 1 perkuliahan dengan bobot 2 (2-1) SKS dan ditambah responsi yang memperkuat pemahaman mahasiswanya. Kelima, IPB mewajibkan mahasiswa baru untuk tinggal di Asrama selama 2 semester.
Kebijakan ini memberikan dampak psikologis mengenai keberagaman dan kemajemukan bagi mahasiswanya. Terang saja, mahasiswa IPB berasal dari sabang sampai merauke. Keenam, sudah ada 146.000 Alumni IPB yang berkontribusi bagi pembangungan pilar pilar Pancasila di seluruh Indonesia.
Di antaranya adalah Presiden Ke-6 Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Handry Satriago (CEO General Electric Indonesia), Anton Apriyantono (Menteri Pertanian Indonesia 2004-2009), Jamil Azzaini (Motivator Terkenal), Zumi Zola (Gubernur Bengkulu), Tri Mumpuni (Peraih Penghargaan Ashden Award 2012), Siti Nurbaya Bakar (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014-sekarang), dan lain lain.
Ketujuh, IPB termasuk Top 100 World Class University, berdasarkan pemeringkatan QS World University by Subject on Agriculture and Forestry, yang dirilis secara global pada tanggal 8 Maret 2017 (www.topuniversities.com). Pemeringkatan didasarkan pada reputasi akademik dan lulusan (academic and employer survey) dan jumlah sitasi terhadap publikasi yang terindeks di scopus database.
Fakta-fakta tersebut menegaskan posisi IPB sebagai kampus yang memiliki kontribusi besar bagi bangsa dan negara ini. Fakta tersebut juga meyakinkan masyarakat bahwa IPB menjunjung tinggi pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. Pada tanggal 29 April 2017, organisasi mahasiswa IPB bersama Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof Yonny Koesmaryono, berkomitmen terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Komitmen tersebut diperkuat dengan adanya semangat berkarya oleh lembaga-lembaga kemahasiswaan IPB. Semangat 53 tahun berkarya juga membuat Civitas IPB semakin kompak untuk mengawal NKRI. Namun, informasi hoax tersebut seolah olah menafikan peran IPB selama ini.
Sebagai mahasiswa dan masyarakat Indonesia, tentu kita wajib untuk mempertanyakan kebenaran sebuah informasi. Saya teringat dari sebuah journal karya Professor George Gerbner, Dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS).
Journal tersebut berjudul “Living with Television: The Violence profile”, Journal of Communication.Journal itu menjelaskan tentang teori kultivasi media massa. Teori ini mendeksripsikan bahwa media menghasilkan sebuah dampak dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata (kehidupannya sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan oleh media. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam media itu adalah “realita”.
IPB memang bukan kampus yang sempurna tetapi ia layak untuk diperjuangkan. Saya yakin dan percaya sekali bahwa Institut Pertanian Bogor tidak pernah menyatakan baik secara resmi maupun tidak resmi mengenai konsep khilafah dalam bernegara.
Lagipula, konsep khilafah yang seperti apa yang masih relevan untuk diterapkan di masa kini. Tentu perlu kajian dan analisis yang mendalam oleh para pakar mengenai hal tersebut.
Namun, kita dapat mengambil sisi positifnya, yaitu semangat dalam mempelajari agama Islam dan mengupayakan substansi substansi ajaran islam agar dapat diterapkan dalam kehidupan bernegara. Sebagai penutup, saya akan menyampaikan sebuah kalimat bijak yang cukup mengena.
“Bukan titik yang menyebabkan tinta, tetapi tinta yang menyebabkan titik. Bukan cantik yang menyebabkan cinta tetapi cinta yang menyebabkan cantik. Bukan IPB yang menyebabkan negara ini bubar, tetapi hoax berkepanjangan yang membuat negara ini bubar”
Bogor, 5 Mei 2017
*) Vice President Shariah Economic Student Club Bogor Agricultural University 2016-2017
**********
Republika.co.id