Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 098/01 – 2017 ).
Segala efek buruk politik dinasti bisa ditengok di Klaten, Jawa Tengah. Bupati Sri Hartini merupakan produk politik kekerabatan. Baru sekitar setahun menjabat, ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat jual-beli jabatan yang sistematis di daerah itu.
Sri Hartini diduga memanfaatkan celah Undang-Undang Aparatur Sipil Negara serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang mewajibkan pengisian jabatan melalui lelang terbuka.
Aturan ini sesungguhnya dibuat guna mendapatkan pejabat yang kompeten, melalui proses transparan.
Celakanya, lelang jabatan justru diselewengkan oleh Hartini menjadi ajang jual-beli kedudukan.
Temuan Komisi Aparatur Sipil Negara menunjukkan, Hartini memasang tarif suap posisi eselon II pada jabatan setingkat kepala dinas dengan harga hingga Rp 400 juta. Ia bahkan tak malu memperdagangkan posisi jabatan rendah. Sebagai contoh, ia memasang tarif jabatan pada bagian tata usaha puskesmas dengan harga Rp 15 juta.
Sri Hartini, yang terpilih menjadi bupati periode 2015-2020, merupakan istri Haryanto Wibowo, Bupati Klaten periode 2000-2005. Sang suami ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan buku paket tahun ajaran 2003/2004 senilai Rp 4,7 miliar.
Politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini juga dituduh terlibat perkara korupsi penggunaan duit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk pergi ke luar negeri. Kasus Haryanto ditutup setelah kematiannya.
Sebelum memimpin Klaten, pada periode 2010-2015 Hartini menjadi wakil untuk periode kedua Bupati Sunarna. Kini, istri Sunarna yang bernama Sri Mulyati merupakan wakil bupati Sri Hartini. Satu pemerintahan dinasti yang menjadikan pengisian kursi kepala daerah mirip arisan.
Haryanto-Hartini dan Sunarna-Mulyati seperti berkompromi mengkapling jabatan bupati dan wakilnya secara bergantian.
Politik dinasti di banyak daerah sangat mencemaskan. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah seyogianya segera membuat aturan yang membatasi meluasnya politik dinasti. Pada 2015, aturan sejenis telah dibuat melalui revisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Di situ diatur larangan calon kepala daerah berkonflik kepentingan dengan inkumben. Definisinya, calon tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping, yakni ayah-ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik ipar, juga menantu. Aturan tidak berlaku setelah inkumben melewati jeda satu kali masa jabatan.
Sayangnya, aturan itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yang menerima uji materi dari Adnan Purichta Ichsan. Anak Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo itu pada saat mengajukan uji materi sedang menjajaki kemungkinan menjadi calon bupati.
Hingga kini, Dewan dan pemerintah belum membuat rumusan lain soal politik dinasti ini. Walhasil, contoh buruk politik kekerabatan seperti di Klaten bisa jadi masih akan ditemukan di banyak daerah.
*********
Opini Tempo.co