Red: Karta Raharja Ucu
REPUBLIKA.CO.ID/Garut News ( Senin, 02/01 – 2017 ), Oleh: Wartawan Republika, Fitriyan Zamzami
Menjelang Senin (19/12), ada riak di Papua. Sejumlah pemuda-pemudi Papua yang tergabung dalam Kongres Nasional Papua Barat (KNPB) berencana menggelar aksi longmarch di Jayapura pada hari tersebut.
Rencananya, aksi itu guna mengenang infiltrasi militer Indonesia ke Papua selepas kesepakatan Trikora pada 19 Desember 1961. Para perencana aksi menilai, aksi militer guna meleburkan Papua ke dalam NKRI tersebut jadi salah satu tonggak sejarah yang perlu diprotes terkait kondisi Papua saat ini.
Belum juga aksi berjalan, puluhan mahasiswa dan pemuda ditangkap kepolisian sejak Ahad (18/12) malam terkait rencana itu. Suara Papua, satu dari sedikit situs kredibel dari Papua yang ikut menyuarakan sentimen tersebut juga diblokir pihak Kemenkominfo.
Pada hari yang sama Presiden Joko Widodo meresmikan peluncuran lembaran uang nasional dengan perwajahan baru. Uang-uang baru tersebut secara resmi bernama “uang NKRI”. Dalam desain uang baru, ada wajah Frans Kaisepo pada pecahan Rp 10 ribu. Ini pertama kalinya seorang Papua dicantumkan pada desain mata uang.
“Pertanyaannya adalah, sejak kapan orang Papua pernah berjuang bersama Indonesia?” kata Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Sebby Sambom kepada Republika.co.id soal penempatan wajah Frans Kaisepo tersebut, Selasa (27/12).
Sambom mengklaim saat ini tengah berada di Port Vila, Vanuatu, guna mengupayakan keikutsertaan Papua dalam organisasi negara-negara Pasifik Melanesia Spearhead Group. Sebuah langkah yang dianggap bisa mempercepat kemerdekaan Papua.
Ia menegaskan, semua pihak yang tertera dalam lembaran mata uang baru yang dikeluarkan Bank Indonesia punya andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia maupun mempertahankan kemerdekaan dari penjajah Belanda.
Tak demikian dengan Frans Kaisepo yang dalam pandangan Sambom semata meleburkan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Artinya, meski ia bisa diangap pahlawan bagi pemerintah Indonesia, di mata mereka yang menginginkan kemerdekaan Papua, justru sebaliknya. Dalam bahasa yang cenderung subversif, menurut Sambom, Frans Kaisepo bahkan dianggap sebagai penghianat bangsa Papua.
Sambom menilai, penempatan Frans Kaisepo sekadar upaya pencitraan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meredam aksi-aksi damai menuntut referendum di Papua yang marak beberapa tahun belakangan. Aksi-aksi yang menurut dia telah menyebabkan begitu banyak anak-anak muda Papua berurusan dengan aparat kepolisian.
Frans Kaisepo yang lahir pada 1921 telah mendukung bergabungnya Papua dengan NKRI sejak 1945. Ia menolak pembentukan negara federasi Indonesia Timur dalam perundingan Malino pada 1946 karena federasi itu tak menyertakan Papua.
Ia juga yang mengusulkan pergantian nama Papua jadi “Irian”, sebuah kata dari bahasa Biak -bahasa ibu Frans Kaisepo- yang artinya “tanah panas” atau “beruap”. Sejarah merekam, Kaisepo melindungi para tentara Indonesia saat memasuki secara diam-diam wilayah Papua pada 1961.
Pihak Bank Indonesia (BI) melansir, pemilihan pahlawan pada desain mata uang baru didasari kebinekaaan atau keragaman Indonesia. Hal itu salah satu alasan Frans Kaisiepo ditempatkan di lembaran mata uang.
Frans Kaisepo dinilai punya tingkat penerimaan yang baik di Papua karena telah digunakan pada fasilitas umum seperti rumah sakit dan bandara di Papua. Sedangkan Kantor Perwakilan BI Provinsi Papua mendata bahwa pecahan Rp 10 ribu adalah yang paling banyak beredar di Papua.
Seperti anak Papua lainnya, Frengki Warer (32 tahun) mengaku sudah diajari soal Frans Kaisepo sebagai pahlawan nasional sejak bersekolah dasar di Biak. Kendati demikian, pelajaran tersebut tak terlalu membekas pada dirinya dan rekan-rekan. “Sebenarnya beliau tidak terlalu dianggap juga,” kata dia.
Ia yang sehari-hari hidup di Jayapura dan aktif membela mama-mama Papua yang berjualan di pasar tradisional mengakui, ada sekutip rasa bangga di hati. Namun ada pewaktuan yang menurutnya mengganjal. “Sederhana saja, kenapa baru sekarang ditaruh itu muka di uang kertas?”
Ia sukar membayangkan putra Papua lainnya yang lebih layak ditampilkan di uang kertas ketimbang Bapa Frans. Terlebih yang bisa dianggap pahlawan nasional oleh pemerintah pusat di Jakarta.
Meski begitu, generasinya punya satu nama yang lebih dekat di hati: Filep Karma. Yang bersangkutan, putra Biak juga seperti Frans Kaisepo, belasan tahun jadi tahanan politik di Penjara Abepura. Kesalahan Filep, menurut aparat hukum, mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sejumlah aksi damai menuntut kemerdekaan Papua.
Pada 1998, Filep melakukan pengibaran di Biak, peristiwa yang kemudian diikuti dengan pembubaran paksa oleh aparat dan mengakibatkan beberapa orang tewas. Pada 1 Desember 2004, ia kembali memimpin aksi serupa di Jayapura dan kemudian ditahan dan dibebaskan pada 2015 lalu.
“Untuk lingkup Papua, sudah tentu (yang lebih pantas) Filep Karma. Tapi tra (tidak) mungkin beliau dimasukkan sebagai pahlawan nasional dan dong (mereka) abadikan dia punya muka di uang,” kata Frengki.
Ia menekankan, bisa jadi memang pemerintah pusat bermaksud mengangkat harkat martabat orang Papua dengan menempatkan salah satu dari mereka di lembaran uang kertas. Tapi hal itu bakal sia-sia selama di akar rumput keadaannya tetap seperti saat ini.
“Rakyat Papua bergelut dengan ketimpangan baik karena kesalahan sendiri maupun sistem yang ada,” ujarnya.
Buat banyak kalangan, menurutnya, penempatan putra Papua di uang kertas adalah terobosan. Tapi, mama-mama Papua yang bakal menggunakan lembaran-lembaran tersebut untuk bertransaksi memerlukan langkah yang lebih kongkrit memajukan keadaan mereka. Bukan sekadar keputusan sepihak dari pusat yang tetap menempatkan orang Papua sebagai objek.
Menurut anggota Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, penelitian LIPI sejak 2004 hingga 2016 menunjukkan bahwa politik identitas Papua memang berkembang pesat di kalangan intelektual dan anak-anak muda Papua.
“Mereka makin mempertanyakan integrasi ke NKRI, mempertanyakan pelanggaran-pelanggaran HAM,” ujarnya kepada Republika.co,id, kemarin.
Tak sedikit di kalangan kaum muda Papua yang meminta hak menentukan nasib sendiri. Narasi-narasi sejarah versi pemerintah Pusat semacam kepahlawanan Frans Kaisepo mereka pandang dengan lebih kritis.
Ia menilai bahwa langkah penempatan tokoh Papua dalam lembaran uang kertas sebagai langkah arif dari pemerintah. Meski begitu, kebijakan itu saja belum cukup merebut hati orang Papua. Mesti ada upaya dialog yang serius antara pusat dan Papua.
Dari catatan sejarah, sukar menyimpulkan selain bahwa Frans Kaisepo punya niat baik mengupayakan Papua masuk dalam NKRI. Seperti para pendiri bangsa, ia juga punya harapan besar terhadap negara yang nantinya bernama Republik Indonesia. Harapan bahwa Papua akan sejahtera di bawah ideal-ideal yang dibayangkan saat republik dibentuk.
Namun kondisi Papua saat ini membuat niat baik Bapa Frans tak seragam dinilai semua pihak di Papua. Ketertinggalan di nyaris semua sektor dan tekanan-tekanan pemerintah pusat terhadap Papua mendorong sebagian pihak meragukan apakah keputusan Frans Kaisepo mendorong Papua bergabung dengan NKRI adalah pilihan yang benar. []
*********
Republika.co.id