Diaspora Pemuja Berhala

Diaspora Pemuja Berhala

821
0
SHARE
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. (ROL/Fian Firatmaja ).

Ahad , 17 September 2017, 04:35 WIB

Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Haedar Nashir

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. (ROL/Fian Firatmaja ).

Siapa bilang di Kakbah dan Masjidil Haram tidak ada berhala? Di Mina, Arafah, dan Nabawi yang dikenal tempat-tempat suci nan mustajab dalam prosesi haji. Pun di banyak tempat kaum muslimin di berbagai belahan negeri. Berhala-berhala itu masih juga menampakkan diri!

Latta, Uzza, Manat, Hubal, Manaf, dan berhala-berhala lain yang dituhankan bangsa Arab Jahiliyah memang sudah dimusnahkan pada Fath Makkah ratusan tahun lalu dari tempat yang disucikan umat Islam se-dunia itu. Apalagi, berhala Marduk dan Nabu dari bangsa Kaldea yang dihancurkan Nabi Ibrahim pada era Namrudz sang pemimpin politheisme ternama.

Namun berhala-berhala klasik masih tersisa dalam jelmaan lain, yakni ego-diri pada perangai orang-orang beriman yang dipicu hawa nafsu. Ego-diri untuk beribadah melebihi kemestian hingga menjurus ke hal yang dilarang ajaran. Ego-diri ketika harus berebut tempat-tempat mustajab hingga tak memberi kesempatan orang lain. Ego-diri berjamarat yang tidak jarang dapat membahayakan diri dan sesama. Ego-diri tatkala kepentingan terganggu, hingga terlihat watak aseli manusia sebagai pemuja hasrat duniawi dalam perebutan mata’ al-ghurur.

Di sudut-sudut terjauh dari kota suci, manusia berebut banyak kepentingan hidup yang seringkali keras dan berjalan pintas. Perebutan lahan dan aset. Perebutan materi dan kekayaan. Lebih-lebih perebutan tahta dan kuasa yang serbaniscaya. Bahkan berebut paham agama secara ananiyah-hizbiyah dengan membawa nama Tuhan, Nabi, dan Kitab Suci. Sumber muasalnya ialah kepentingan diri dalam egosentrisme berbalut hawa nafsu, yang oleh sufi ternama Jalaluddin Rumi disebut sebagai “ibu dari semua berhala”.

Berhala nafsu

Hawa nafsu manusia untuk sebesar-besarkan berebut dunia bagi kepentingan sendiri secara berlebih sungguh berdiaspora dalam sejarah umat manusia dulu hingga kini. Bukan hanya untuk urusan muamalah keduniaaan yang sejatinya berwatak sekuler seperti politik, ekonomi, sosial budaya, dan lainnya. Hatta untuk urusan agama, ego dan nafsu diri itu sering menyala dalam sakralisasi yang samar hingga terbuka. Agama dan paham keagamaan yang bertahtakan nafsu ego-diri dapat menjelma menjadi kekuatan hegemoni untuk menguasai, memukul, menyingkirkan, dan mengusir pihak lain yang duanggap beda, lemah, dan kecil.

Ketika kepentingan diri secara individu maupun kolektif begitu berlebihan dan menjadi rakus, maka sejatinya bersifat tahlih ‘an nafs, menuhankan ego diri sebagai bentuk lain pemberhalaan. Ketika para Nabi Allah diutus untuk mengajak pada jalan Tuhan yang yang satu (tauhid)), risalah yang utama ialah bertauhid dan mencegah perilaku menyekutukan Allah. Allah sendiri sebenarnya tidak memerlukan apakah Dzat-Nya disembah atau disekutukan, namun jantung terdalam dari ajaran tauhid ialah sikap hanif (jernih nan autentik) dalam bertuhan sekaligus ihsan (berbuat kebajikan yang utama) terhadap sesama insan dan lingkungan kehidupan.

Musuh utama tauhid sebenarnya bukan hanya syeitan atau iblis yang suka menyesatkan jalan manusia beriman. Ajaran tauhid juga meniscayakan penundukkan ego-manusia yang sering paling digdaya dan merasa benar di jalan salah sebagaimana para penyembah berhala dalam teologi politheisme atau paganisme pada era zaman Nabi. Namrudz dan umatnya yang fanatik sebagai pemyembah berhala harus membakar Nabi Ibrahim karena dianggap menghina dan menghancurkan berhala-berhala sesembahan yang mereka bikin sendiri.

Sikap kepala batu dan kebodohan yang tak mau berubah itulah yang disasar dari ajaran tauhid para Nabi Allah atas tindakan para penyembah berhala itu sebagaimana firman Allah: “Apakah mereka mempersekutukan (Allah) dengan berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.” (QS Al-‘Araf: 191)”. Padahal mereka tahu, bahwa “berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.” (QS An-Nahl: 20).

Dalam sejarah para penyembah berhala maka bukan hanya batu, kayu, dan segala bentuk patung yang dituhankan. Namun juga penuhanan atau pendewaan terhadap manusia yang dianggap perkasa seperti raja-raja dan penguasa, bahkan orang yang dianggap suci. Ibn Abbas dan Ibn Katsir mengupas, bahwa muasal pemyembahan berhala yang terjadi pertama kali di zaman para nabi utusan Allah dinisbahkan pada nama-nama ulama yang dianggap suci dan ahli ibadat yang kemudian dipersonifikasikan ke dalam beragam simbol fisik yang kemudian mereka sembah. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr, sebagai nama-nama berhala pada masa Nabi Nuh konon adalah keturunan dari Nabi Adam yang mereka sucikan.

Hawa nafsu pun menyeruak menjadi berhala di balik pemberhalaan tuhan-tuhan buatan manusia kaum paganisme itu. Hingga Allah berfirman yang artinya, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS Al-Furqaan: 43). Menurut Ibnu Katsir, bahwa “bagaimanapun orang tersebut menganggap baik suatu perkara dan memandangnya baik menurut hawa nafsunya, maka dalam pandangannya hal itu adalah agamanya dan madzhabnya”.

Maka, Allah tidak pernah mentoleransi kemusyrikan, karena selain secara teologis sikap tersebut berlawanan dengan syahadat dan tauhid, pada saat yang sama seringkali berakar pada hawa nafsu dalam beragama dan dalam kehidupan umat beragama. Pada setiap perintah beribadah kepada Allah, sering disertai dengan larangan menyekutukan-Nya. Selebihnya, kemusyrikan dan pemberhalaan itu sungguh merupakan pandangan hidup yang sangat rapuh sebagaimana diperingatkan Allah, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah, dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (QS Al-Ankabut: 41).

Harapan terbesar dari spirit keagamaan yang autentik tentu saja agar segala ibadah yang berulang-tetap dilakukan umat beriman sejak shalat lima waktu perhari, jumatan per minggu, haji per tahun, umrah berkali-kali, membaca Alquran hingga tahfidh, serta segala ritual lainnya dapat mengubah keangkuhan ego-diri. Umat beriman agar makin menjadi shalih secara pribadi dan sosial serta mengubah lingkungan kehidupan untuk lebih berkeadanan dan berperadaban utama. Lebih-lebih pada diri mereka yang berilmu agama tinggi dan pemimimpin kaum beriman, sebagai sosok dan figur warasat al-anbiya!

Sumber keangkuhan

Manusia itu memiliki watak dasar angkuh diri. Angkuh karena kuasa tahta, harta, dan segala digdaya dunia. Bahkan angkuh diri karena kuasa ilmu dan agama. Keangkuhan itu sering menyeret manusia pada perangai suka melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup (QS Al-Alaq : 6-7). Fir’aun bahkan dengan arogan mengaku diri sebagai tuhan yang maha tinggi. Padahal, Tuhan mengingatkan, meski angkuh diri melebihi Fira’aun, manusia itu tidak akan melampaui tingginya gunung. Sebuah metafora betapa lemah atau dhaifnya manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Pencipta.

Manusia angkuh, sabda Nabi, cirinya dua yaikni suka menolak kebenaran yang datang dari orang lain, serta gemar merendahkan sesama. Mereka yang bertahta dan berkuasa menindas rakyat jelata. Mereka yang berharta mengeksploitasi kaum papa. Mereka yang berilmu merendahkan yang bodoh. Merasa paling besar jumlah pengikut semena-mena terhadap yang sedikit dan minoritas. Mereka yang merasa Pancasilais menganggap lainnya tidak Pancasila, bahkan menuding anti-Pancasila. Bahkan, tidak jarang mereka yang merasa paling benar dengan paham agamanya mencerca dan memperolok paham lain yang berbeda darinya.

Karena keangkuhan diri melebih takaran, lalu terjadi pemberhalaan paham, pandangan, pemikiran, dan apa saja yang dimilikinya secara fanatik-buta. Lalu terjadi segala kedunguan logika. Segala pandangan dan paham yang berbeda diamggap sesat dan menyesatkan tanpa dalil dan argumen yang kokoh.

Orang lain dilarang berbuat sekehendaknya lalu dicap intoleran, radikal, dan ekstrem. Sementara dirinya bebas berkata, berpikir, dan berbuat apa saja yang sebenarnya sering berwatak ekstrem, radikal, dan intoleran. Kebenaran dan kesahalan hanya berpatokan pada dirinya, yang angkuh dan merasa diri paling banyak.

Akibatnya, keberagamaan dan apapun logika berpikir para manusia angkuh diri itu tak menyentuh sukma terdalam ajaran agama nan autentik. Mereka berpikir, berkata, dan bebuat layaknya buih di lautan sebagaimana Firman Allah, yang artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan” (QS Ar-Ra’du: 17)

Karena angkuh diri, mereka sering tersesat dan merasa benar di jalan salah layaknya berenang di lautan buih sering menjadikan insan beriman dan berilmu sekalipun menjadi kerdil diri. Manakala yang berbuat sesat jalan itu orang-orang awam tak berilmu, boleh jadi khalayak akan memakluminya. Namun menjadi paradoks jika yang salah jalan dan angkuh dalam kesalahannya itu mereka yang beriman dan berilmu. Angkuh diri di jalan salah yang dibenarkan dan disakralkan sungguh merupakan ironi kebenaran dalam jejak hidup kaum beriman dan berilmu. Inilah wujud lain pemberhalaan paham keagamaan yang berkarakter ghuluw, serba ekstrem dalam wajah lain. Mereka yang berilmu agama tinggi pun, karena keangkuhannya lantas menjadi kerdil.

Dalam khazanah Islam klasik dikenal istilah “Ash-Shaagiir”, ulama yang ilmunya tampak mumpuni tetapi perangainya kerdil. Ketika Ibnu Mubarak ditanya “Siapakah itu Ash-Ashaghir?”. Dia menjawab, yakni “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata”. Ulama atau mereka yang berilmu tetapi pikiran, ujaran, dan tindakannya sungguh tidak mencerdaskan dan mencerahkan. Sebaliknya tampak naif, bodoh, dan dungu. Ilmunya selain kehilangan kedalaman dan filosofi kebenaran yang autentik, pada saat yang sama tak dibalut hikmah hingga mengerdilkan dirinya. Iman dan ilmunya boleh jadi telah terkontaminasi berhala hawa nafsu.

*******

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY