Garut News ( Kamis, 06/04 – 2017 ).
Kita kecolongan ketika mendengar seorang siswa SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah, dengan tenang membunuh kawan seasramanya yang sedang terlelap dengan sebilah pisau dapur. Sudah waktunya sekolah dengan atmosfer kompetisi yang ketat itu menyediakan tenaga konseling dan memberikan perhatian khusus bagi siswa-siswanya yang sulit beradaptasi.
Nama pelaku yang masih di bawah umur ini masih dirahasiakan. Di sekolah yang ditegakkan dengan disiplin tinggi dan mengunggulkan kompetisi itu, si pelaku lebih tepat digambarkan sebagai “musuh bersama” ketimbang sahabat semua.
Lantaran rekam jejaknya yang tak menyenangkan, ia praktis sendirian di sekolah. Pelaku kerap dicurigai suka mencuri, acap kali tidak mengembalikan telepon seluler yang ia pinjam dari rekannya di sekolah itu. Tapi, bagaimanapun, tindakannya pada suatu malam Kamis pekan lalu itu tetap saja membuat kita tergetar.
Siswa itu nekat balas dendam kepada korban, yang telah berani menegurnya supaya mengembalikan barang yang ia pinjam. Ia kemudian merancang pembunuhan dengan rinci, termasuk membeli pisau dapur sehari sebelumnya. Pelaku jelas dapat diganjar menggunakan pasal pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman maksimal mati–namun, karena masih di bawah umur, ia mungkin cukup dikenai kurungan 10 tahun.
Ada keterangan menarik dari penyidik yang mengorek informasi dari remaja ini. Ia mengaku sebagai penggemar film-film laga. Film Rambo yang dibintangi Sylvester Stallone adalah favoritnya. Boleh jadi, dari film yang laris bak pisang goreng pada era 1980-an itu, ia memetik pelajaran bagaimana cara mendekati korban, lalu menusuk lehernya selagi korban tidur.
Bukankah Rambo, yang merasa asing di tengah lingkungannya, juga tak banyak berpikir bahkan ketika melakukan sesuatu yang sadis? Ia melakukannya berdasarkan “suka” atau “tidak suka”, yang boleh jadi dibisiki oleh hatinya sendiri. Tentu tak bisa dipastikan bahwa Rambo-lah satu-satunya faktor yang mengilhami perbuatan mengerikan itu, atau remaja ini tak bisa membedakan dunia film dari dunia nyata.
Kita juga terkejut, karena yang terjadi di Magelang tersebut tidak sama dengan kekerasan berkelompok, misalnya ketika siswa junior dibunuh rekan senior dalam perpeloncoan di sekolah-sekolah tinggi. Itu budaya kekerasan “struktural” untuk mempertahankan hegemoni para senior yang diwariskan turun-temurun.
Dari pembunuhan Krisna Wahyu Nurachmad, 15 tahun, di kamar asrama SMA Taruna Nusantara itu, kita bisa belajar bahwa kondisi psikologis mereka yang tersisih dan terpukul dalam kompetisi ketat membutuhkan perhatian khusus.
Tentu kita tak mau terkejut lagi mendengar kekerasan meletus di tempat-tempat lain yang tak terduga seperti tragedi di Taruna Nusantara. Ada baiknya setiap sekolah menyediakan tenaga profesional untuk mengetahui perkembangan remaja yang sulit beradaptasi dengan lingkungan kompetitif.
*********
Tempo.co