Depresiasi Rupiah dan Krisis

Depresiasi Rupiah dan Krisis

691
0
SHARE

Andi Irawan, Peminat Telaah Ekonomi Politik

Garut News ( Kamis, 05/12 ).

Ilustrasi, Harga Jual Kue Balok Juga Bisa Melambung, Lantaran Berbahan Baku Tepung Terigu. (Foto : John).
Ilustrasi, Harga Jual Kue Balok Juga Bisa Melambung, Lantaran Berbahan Baku Tepung Terigu. (Foto : John).

Hari-hari ke depan, ancaman bahwa rupiah di kantong Anda semakin tergerus nilainya akan makin terasa.

Daya beli rupiah yang semakin lemah itulah makna riil yang kita rasakan dari depresiasi rupiah.

Depresiasi dan inflasi itu adalah dua sisi dari satu koin mata uang.

Ketika depresiasi nilai tukar terjadi, inflasi (kenaikan harga-harga secara umum) juga terjadi.

Depresiasi menyebabkan harga-harga mahal karena harga-harga barang yang dibeli dari luar negeri menjadi lebih mahal.

Ketika barang itu adalah barang modal atau bahan baku, kenaikan harganya menyebabkan kenaikan biaya produksi.

Ketika biaya produksi naik, tentu saja harga jual akan naik.

Fenomena ini dalam literatur ekonomi dinamakan import inflation.

Dan untuk kita, fenomena ini menjadi sangat terasa mengingat 70 persen lebih dari komoditas impor tergolong bahan baku atau barang modal industri.

Jika yang diimpor adalah barang langsung konsumsi, kenaikan harga terjadi ketika harga barang impor itu dikonversikan menjadi rupiah saat barang tersebut dijual di dalam negeri.

Angka kurs yang sempat menembus Rp 12 ribu per dolar AS memang cukup mengkhawatirkan banyak pihak akan kemungkinan masuknya Indonesia dalam krisis ekonomi.

Sebab, peluang untuk terjadi krisis tentu saja tidak mustahil terjadi jika inflasi sebagai mudarat dari depresiasi rupiah diiringi oleh dua dampak negatif lainnya, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya angka pengangguran.

Hal tersebut terjadi ketika keuntungan perusahaan yang didapat tidak lagi bisa menutupi biaya yang semakin mahal akibat kenaikan harga bahan baku impor.

Ini bisa menyebabkan sebagian industri kolaps yang berimplikasi pada menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Angka pengangguran meningkat karena industri yang kolaps terpaksa memecat karyawannya atau industri yang masih eksis terpaksa menekan biaya produksi dengan memangkas jumlah tenaga kerja yang dipekerjakannya.

Krisis ekonomi terjadi ketika besaran (magnitude) dari dampak negatif itu besar dan berdurasi lama.

Sebagai contoh, dampak negatif dari apresiasi dolar AS yang melanda kawasan Asia-Pasifik pada pertengahan 1997 telah menimbulkan krisis ekonomi bagi negara kita.

Pelemahan rupiah yang terjadi saat itu dalam magnitude yang besar berupa pertumbuhan ekonomi yang negatif (pernah -13 persen pada 1998) dan hiperinflasi (kenaikan harga umum di atas 70 persen pada 1998).

Sedangkan durasi dari semua ketidaknyamanan ekonomi itu kita alami dalam waktu yang cukup panjang, yakni 2-3 tahun.

Dan krisis ekonomi bisa berimplikasi pada delegitimasi reformasi dan demokrasi.

Hal itu harus dicermati oleh para elite politik dan negara.

Kita bisa mengetahui itu secara empiris dari pengalaman Eropa ketika diterpa krisis euro beberapa tahun lalu, seperti yang dikemukakan Paul Krugman di The New York Times (13 Desember 2011) dalam opininya yang berjudul Depression and Democracy.

Krisis ekonomi Eropa saat itu berdampak negatif, yakni hilangnya kepercayaannya masyarakat terhadap demokrasi.

Krisis euro telah menimbulkan munculnya kekuatan politik yang ademokratis di Eropa.

Hal itu tampak dari kekuatan-kekuatan yang berideologi fasis dan neo-Nazi bisa memenangkan dan mendapatkan penerimaan yang tinggi di sejumlah negara Eropa, seperti Austria, Finlandia, dan Hungaria.

Kehilangan kepercayaan terhadap demokrasi ini terjadi pada negara-negara yang paling buruk mengalami kemerosotan ekonomi.

Pemerintah harus berani mengambil kebijakan tegas berkaitan dengan penyebab defisit neraca transaksi berjalan yang sudah terjadi hampir dua tahun terakhir tersebut.

BBM, misalnya, adalah komponen yang signifikan menciptakan defisit neraca transaksi berjalan karena subsidi BBM yang besar dan harus diimpor.

Program diversifikasi energi adalah solusi signifikan untuk menekan konsumsi BBM dan menekan impornya.

Sayang sekali, program diversifikasi energi hanya menjadi macan kertas kebijakan pemerintah, tidak ada progres sejak awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I hingga menjelang akhir KIB II sekarang ini.

Padahal, di sisi lain, pemerintah tidak punya keberanian mengurangi angka subsidi BBM secara signifikan karena pertimbangan aspek politik.

Kesungguhan untuk meningkatkan produksi pangan dan membangun industri penyedia bahan baku industri juga tidak tampak nyata.

Sedangkan syahwat untuk impor sangat tinggi sehubungan dengan insentif perburuan rente yang ada di dalamnya.

Di sisi lain, kekuatan sisi suplai valuta asing kita juga belum hadir karena keunggulan ekspor kita terhambat masalah klasik, seperti faktor inefisiensi kelembagaan ekonomi pasar yang berbiaya tinggi.

Hal itu akibat infrastruktur dan SDM dengan kualitas yang lemah dan diperparah dengan kehadiran perilaku perburuan rente.

Abai mengatasi masalah defisit neraca transaksi berjalan menyebabkan depresiasi rupiah terus berlanjut dan tidak menutup kemungkinan menghadirkan krisis ekonomi.

**** Sumber : Kolom/artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY