SENIN, 24 JULI 2017 | 00:17 WIB
Fotografer : John Doddy Hidayat
RENCANA Kepolisian RI membentuk Detasemen Khusus Antikorupsi bukanlah langkah tepat untuk memerangi korupsi di negeri ini. Ikhtiar melahirkan lembaga baru itu justru berbahaya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain memboroskan anggaran, kehadirannya bisa menimbulkan tumpang-tindih kewenangan dengan lembaga yang sudah ada.
Pembentukan satuan khusus ini sebenarnya merupakan ide usang. Empat tahun lalu, tak lama setelah menjabat Kapolri, Jenderal Sutarman pernah berniat mendirikan Densus Antikorupsi. Belakangan, Sutarman mencabut gagasannya. Politikus Senayan pun menolak pembentukan detasemen baru tersebut.
Setidaknya ada dua alasan ide pembentukan Densus Antikorupsi saat itu buyar di tengah jalan. Pertama, tugas penanganan korupsi sudah menjadi kewenangan KPK. Kedua, kepolisian telah memiliki lembaga khusus yang juga menangani perkara korupsi, yakni Direktorat Tindak Pidana Korupsi di bawah Badan Reserse Kriminal Polri. Dua argumen itu masih valid hingga saat ini.
Tak mengherankan bila rencana Kapolri Jenderal Tito Karnavian menghidupkan kembali ide lawas tersebut memantik curiga. Ide pembentukan lembaga baru itu kini memperoleh sokongan dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. Alasan densus ini diperlukan, yakni kinerja KPK tidak optimal, sulit diterima nalar dan terkesan dipaksakan.
Gagasan itu menjadi semakin janggal karena seirama dengan upaya pelemahan KPK yang tengah berlangsung saat ini lewat Panitia Angket DPR. Skenario memangkas kewenangan hingga membubarkan KPK itu ditengarai juga melibatkan sejumlah oknum petinggi kepolisian. Mereka disebut-sebut mengerahkan bekas penyidik kepolisian yang pernah bekerja di KPK untuk mencari kesalahan lembaga itu.
Kapolri sebaiknya menghentikan rencana pembentukan institusi baru tersebut. Ketimbang repot-repot membentuk detasemen baru yang ditargetkan beroperasi tahun depan, Tito seharusnya mengoptimalkan lembaga yang sudah ada, yakni Direktorat Tindak Pidana Korupsi, yang selama ini tak terlihat tajinya. Pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan Tito adalah meningkatkan kemampuan personel dan teknologi yang digunakan di direktorat tersebut.
Dari sisi legal formal, keberadaan Densus Antikorupsi juga patut dipertanyakan. Berbeda dengan KPK yang bertugas melaksanakan Undang-Undang Antikorupsi dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi serta Densus Antiteror yang berkewajiban menjalankan Undang-Undang Terorisme, lembaga baru ini tidak memiliki dasar hukum pembentukan yang kuat.
Tanpa kewenangan dan dasar hukum yang jelas, lembaga baru ini tak akan efektif bekerja memerangi rasuah. Kalaupun diberi kewenangan luas, kerja Densus Antikorupsi bisa tumpang-tindih dengan KPK.
Bila serius ingin memerangi korupsi, kepolisian seharusnya mendorong penguatan KPK, bukan malah ikut-ikutan melemahkannya. Sudah selayaknya KPK, yang telah teruji kinerjanya, diperkuat dan diselamatkan.
*********
Opini Tempo.co