Dendam

Dendam

847
0
SHARE

putu setia

Garut News ( Ahad, 08/02 – 2015 ).

Ilustrasi. Jebakan Menjerat. (Repro Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. Jebakan Menjerat. (Repro Foto : John Doddy Hidayat).

Tumben, Romo Imam mau saya ajak bicara soal perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. “Mumpung Presiden lagi di luar negeri,” kata dia.

Saya awali dengan pertanyaan khas presenter stasiun televisi, “Singkat saja Romo, kenapa KPK harus dilumpuhkan?”

“Memang mengejar target. Setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya, pimpinan KPK tinggal empat,” ucap Romo.

“Dengan empat pimpinan, apa pun yang dilakukan KPK diduga tidak sah karena ada undang-undang yang mengatur pimpinan itu harus lima. Eh, ternyata salah, karena kepemimpinan yang kolektif dan kolegial tak harus lima. Maka Bambang Widjojanto diperkarakan. Menyusul Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja. Tinggal Zulkarnain sendiri, tentu tak bisa lagi disebut kolektif kolegial, memangnya dengan siapa kolektif-kolektifan? Tapi, ah, tanggung, Zulkarnain pun mau dihabisi.”

“Secepat itu?” kata saya. Romo tertawa.

“Seperti sinetron kejar tayang. Pimpinan KPK harus diganti. Dengan pimpinan KPK yang baru lewat Perpu, siapa tahu bisa mengubah keputusan pimpinan lama, mencabut status tersangka untuk Komjen Budi Gunawan,” ujar Romo.

“Wow, ujungnya ke sana. Kalau ternyata pimpinan KPK yang baru tak mau?” Pertanyaan saya itu dijawab enteng oleh Romo: “Ya, dijadikan tersangka lagi, nonaktif lagi, diganti lagi.”

Saya melongo dan Romo melanjutkan, “Undang-undang KPK, setiap ada pimpinan yang jadi tersangka, langsung mengundurkan diri dan dinonaktifkan oleh presiden. Dijadikan tersangka itu gampang. Ada pengaduan dari masyarakat ke polisi, lalu saksi-saksi diperiksa, dan tersangka pun bisa dijatuhkan.”

“Ah, gampang sekali,” saya nyeletuk. Romo kembali tertawa: “Ya, memang gampang. Tugas polisi cuma menyidik, nanti dilemparkan ke jaksa untuk penuntutan. Bahwa jaksa bolak-balik mengembalikan berkas itu, bahkan bisa jadi ditolak lalu dikeluarkan SP3, tak masalah bagi polisi. Proses bolak-balik berkas itu lama, yang penting pimpinan KPK sudah tersangka.”

“Cari pimpinan KPK yang bersih.” Ucapan saya itu langsung disambar, “Lo, mana ada manusia yang bersih? Meski ada ratusan panitia seleksi bekerja mengobrak-abrik rekam jejak calon pimpinan KPK, pasti ada lubangnya. Misalnya, tiba-tiba ada yang melaporkan pimpinan KPK mencuri mangga saat kecil, atau pernah lupa memakai helm saat remaja, atau pernah berfoto mesra dengan wanita seksi.”

“Itu dicari-cari, kriminalisasi,” kata saya. Romo berujar, “Kalau menurut mantan Ketua MK Prof Mahfud Md., itu hal kecil yang dibesar-besarkan. Tapi, menurut Kadiv Humas Polri Ronny F. Sompie, itu soal hukum. Polisi tak boleh mengabaikan pengaduan masyarakat. Polisi tak ada gesekan dengan KPK, polisi juga ingin KPK kuat, penyidik KPK kan juga dari polisi, ini soal hukum.”

“Romo…” saya memotong, tak sabar. “Apa masyarakat kita begitu bodoh menerima penjelasan seperti itu?” Romo kaget oleh ucapan saya yang keras, lalu menjawab enteng: “Ya, bagi jenderal polisi, masyarakat kita mungkin bodoh. Tapi orang bodoh tetap lebih baik dari orang tak jelas.”

Saya mengelus dada, sakitnya di sini. “Saya ingin kata-kata bijak dari Romo, sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini?” Romo tenang saja: “Dendam. Inilah kepemimpinan yang didasari dendam. Apa pun yang dilakukan seseorang, kalau masih didasari dendam, akan melahirkan dendam pula. Satu-satunya cara mengakhiri kisruh ini dan dendam tak berlanjut, amankan sang pendendam di kedua pihak. Jika perlu, disingkirkan dulu. Tapi itu membutuhkan keberanian atasan. Dan itu yang tak ada sekarang.”

Saya kembali mengelus dada, sakitnya di sini.

*****

Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY