Demokrasi Remang-Remang

Demokrasi Remang-Remang

927
0
SHARE
Imam Shamsi Ali yang bermukim di New York. (Facebook).

Senin , 01 May 2017, 12:53 WIB

Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)

Imam Shamsi Ali yang bermukim di New York. (Facebook).
Imam Shamsi Ali yang bermukim di New York. (Facebook).

Saya bangga lahir di Indonesia dan saya bangga menjadi orang Indonesia. Saya bangga bukan karena pencitraan. Tapi, kebanggan yang memang terbangun di atas tebiat keindonesiaan yang membanggakan. Bangga dengan keindahannya, bangga dengan kekayaan alamnya baik di darat maupun di laut, dan juga dengan kebesaran sejarahnya.

Tapi, seperti yang berulang kali saya sampaikan, yang paling membanggakan tentang negeri ini adalah manusia dan konsep kehidupan berbangsanya. Manusia yang ramah, sopan, serta memiliki budi pekerti yang tinggi. Manusia yang senantiasa mengedepankan kelembutan dan perdamaian di atas kekerasan dan konflik.

Mengedepankan persahabatan dan kerjasama diatas permusuhan dan perpecahan. Serta mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal ketimbang memaksakan kepentingan sempit kelompok dan golongan.

Nilai-nilai universal yang kita maksud itulah yang terpatri dalam konsep modern yang disebut demokrasi. Sebuah konsep sosial kemasyarakatan yang hingga kini masih diyakini dan disepakati oleh sebagian besar manusia sebagai nilai universal dalam membangun kehidupan kolektif manusia.

Yang paling membanggakan kemudian adalah bahwa Indonesia sekaligus mampu mematahkan hipotesis sebagian orang bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang paradoks. Argumentasi Indonesia bukan sekedar dalam bentuk konsep dan teori. Tapi dengan bukti dan realita.

Menjadilah Indonesia negara Muslim terbesar di dunia tapi mengadopsi nilai-nilai demokrasi universal tadi. Dua hal yang oleh sebagian dianggap “paradoxical” (tertolak belakang). Kenyataannya memang hanya segelintir dari sekian negara-negara mayoritas Muslim yang mampu mengawinkan keduanya (Islam dan demokrasi).

Saya masih teringat di penghujung tahun 1996 lalu. Walau saya ketika itu sudah bekerja sebagai pegawai Perutusan Tetap RI (PTRI) Untuk PBB New York, tapi saya selalu bersemangat (walau diam-diam) ikut beberapa kali demonstrasi warga Indonesia di depan PBB, menuntut Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya.

Entah kenapa, saya sendiri belum terlalu paham kenapa banyak warga Indonesia di New York yang berdemonstrasi menentang pemerintahan Soeharto. Hanya belakangan saya paham ternyata itu adalah bagian dari instink alami warga yang menghendaki Indonesia menjadi bagian dari dunia demokrasi. Di mana kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan publik dijunjung tinggi.

Dengan terdepaknya Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia seara otomatis membuka krang-krang demokrasi itu. Kekebasan berbicara terbuka dan demo pun di mana-mana terjadi. Kebebasan pers juga demikian. Sehingga mengeritik pemerintah yang pada zaman orde baru dianggap tabu bahkan menakutkan, kini menjadi biasa bahkan menjadi konsumsi rutin yang menyenangkan.

Barangkali yang paling menggembirakan dari fenomena terbangunnya kehidupan berdemokrasi itu adalah ketika partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi tumbuh dengan semangat yang sangat luar biasa. Hal ini sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Sebagai putra bangsa tentu sangat wajar bergembira. Menjalani hidup di luar negeri sejak tamat pesantren, dari satu negara ke negara yang lain, saya melihat negara-negara yang memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk bereskpresi dan berpatisipasi dalam kehidupan publik mengalami prosperitas yang lebih baik.

Tentu harapan saya tetap agar bangsa Indonesia dalam kemajuan dan kemakmuran nanti tetap terbangun di atas nilai-nilai agama yang memang sejak turun temurun telah menjadi akar kehidupan manusia Nusantara. Sekaligus memang itu karakteristik unik dari falsafah berbangsa dan bernegara. Bahwa Indonesia bukan negara agama. Tapi juga bukan negara yang mengingkari peranan agama.

Indonesiapun memasuki era demokrasi itu. Dimulai dengan era reformasi yang lambat laun menumbuhkan proses demokratisasi yang baik. Pemilu demi pemilu juga berlangsung dengan baik. Bahkan pertumbuhan ekonomi makro memperluhatkan hasil yang cukup signifikan. Menjadikan Indonesia masuk dalam kelompok G20 atau negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.

Singkatnya Indonesia sejak lengsernya presiden Soeharto nampu tampil di dunia internasional sebagai salah satu negara besar demokrasi. Dan sekali lagi lebih istimewa lagi karena demokrasi itu mengambil Islam sebagai nafasnya.

Saya, anda dan kita semua tentu berharap agar proses demokrasi itu tumbuh semakin matang seiring dengan kemajuan pembangunan negara Indonesia. Bahkan saya bermimpi melihat Indonesia menjadi negara mayoritas Muslim yang mampu membangun kehidupan demokrasi dengan segala pilarnya.

Tentu harapan tertinggi dari semua itu agar terwujud “baldag thoyyibah wa Rabb Ghafur” (negara yang baik dan diridhai oleh Tuhan).

Tapi, di tengah harapan itu juga tumbuh kekhawatiran yang besar. Kekhawatiran itu beralasan karena kasus-kasus mutakhir di tanah air memberikan signal yang kurang baik, bahkan cenderung menjadi bumerang bagi pertumbuhan demokrasi itu sendiri.

Salah satu fenomena mutakhir yang bisa menjadi ancaman demokrasi adalah terjadinya “transaksi kepentingan”, termasuk kepentingan politik yang tidak lagi mengenal malu. Demi kepentingan kekuasaan para pelaku politik tidak malu-malu, bahkan terang-terangan melakukan penyogokan atau pembelian dukungan. Lebih tragis lagi karena dukungan rakyat begitu murah, semurah beras atau gula.

Hal lain yang mengkhawatirkan adalah terjadi tekanan-tekanan yang mengarah kepada pemaksaan untuk meloloskan kemauan kelompok tertentu. Hal ini akan menjadi kanker dalam tubuh demokrasi, karena dunia demokrasi hanya mengenal kompetisi dan bukan pemaksaan. Ancaman dan intimidasi untuk memaksakan kehendak lambat laun tapi pasti akan mematikan pohon demokrasi itu sendiri.

Hal lain yang paling berbahaya bagi kelestarian demokrasi adalah ketika hukum tidak lagi menjadi acuan. Hukum hanya menjadi slogan di atas kertas dan konsep. Tapi dalam prakteknya hukum diinjak-injak berdasarkan kepentingan-kepentingan yang membayangi.

Inilah yang kemudian ada kasus-kasus muthakhir yang kurang baik terhadap kegiatan masyarakat, yang harusnya secara hukum benar dan secara moral baik. Tapi karena kegiatan tersebut mengancam kepentingan orang-orang tertentu, yang kebetulan punya pengaruh politik maupun ekonomi, maka dibubarkan secara paksa.

Tindakan seperti di atas tidak saja secara moral salah, tapi juga menjadi racun bagi kehidupan berdemokrasi. Saya sungguh mengrapkan bahwa ketidak setujuan apapun yang terjadi dalam masyarakat hendaknya diselesaikan melalui jalur demokrasi. Di mana hukum selalu dikedepankan.

Pada akhirnya kebebasan dalam berdemokrasi bukan kebebasan tanpa batas. Tapi kebebasan yang dibatasi oleh batas-batas hukum yang ada. Di saat kebebasan telah menginjak-injak supremasi hukum maka itu bukan kebebasan dalam kerangka demokrasi. Tapi kebablasan dalam rangka berdemo-crazy (menampakkan kegilaan).

Setuju atau tidak seuju dalam tatanan demokrasi itu wajar bahkan alami. Tapi ketika setuju itu dipaksakan maka itu diktatorship. Atau ketika ketidak setujuan itu diikuti oleh kekerasan atau ancaman maka itulah “teror” yang menjadi racun demokrasi dunia.

Apapun kata orang, saya bangga dengan teman-teman Muslim Indonesia yang mampu mengekspresikan ketidak setujuannya bahkan dengan minoritas dengan cara-cara elegan. Aksi 411, apalagi 212 adalah ekspresi kebebasan dalam kerangka demokrasi. Spirit kehidupan koletif seperti inilah yang harus dijaga, ditumbuh suburkan, bahkan disyukuri.

Herannya masih banyak yang merasa jika itu intoleran, radikal, bahkan ancaman demokrasi. Beberapa kali saya mengikuti diskusi tentang Indonesia, saya mendengar banyak kekhawatiran jika demokrasi Indonesia dalam ancaman karena aksi itu.

Padahal, ancaman demokrasi yang paling berbahaya di Indonesia justeru ketika intimidasi atau pemaksaan datang dari institusi negara. Selama negara masih netral, hukum masih menjadi acuan, maka demokrasi negara itu masih aman.

Saya melihat bahwa negara masih melindungi minoritas. Justeru yang saya khawatirkan adalah ketika negara mulai “phobia” dengan rakyatnya sendiri. Sehingga kegiatan-kegiatan masyarakat akan dianggap ancaman bagi negara. Jika ini terjadi maka prilaku orde baru kembali hidup. Bahkan lebih berbahaya lagi karena kini terbungkus oleh retorika demokrasi.

Dan itu pula yang saya namai dengan demokrasi remang-remang. Wallahu a’lam!

New York, 30 April 2017

* Presiden Nusantara Foundation

*********

Republika.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY