– Arya Budi, Peneliti Pol-Tracking Institute
Jakarta, Garut News (Jum’at, 21/03 – 2014).
Mafhum disadari publik bahwa Maret 2014 adalah bulan politik menuju pemilu legislatif 9 April 2014.
Tanda yang paling nyata adalah cuti kerja pejabat publik dari level pusat hingga daerah.
Secara spesifik, hal ini terkait dengan akan dimulainya kampanye rapat umum pada 16 Maret mendatang, sehingga beberapa pejabat publik-kader partai, baik di legislatif maupun eksekutif (pusat dan daerah), terlihat “beramai-ramai” mengajukan cuti untuk keperluan kampanye.
Pejabat publik yang melakukan cuti kampanye berada paling tidak dalam empat kategori: (1) kabinet pemerintahan meliputi presiden/wapres dan menteri; (2) kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota; dan (3) anggota DPR.
Namun semua pejabat publik terkait pada dasarnya masuk satu kategori politik: kader partai.
Artinya, jika komposisi kabinet adalah 19 menteri partai dari 34 menteri, akan terjadi kekosongan pemerintahan lebih dari 50 persen, termasuk presiden jika melakukan cuti kampanye sepanjang kampanye rapat terbuka beberapa hari ke depan.
Meskipun mereka yang mengajukan cuti dari kabinet SBY-Boediono akan lebih banyak dari partai, ada beberapa menteri, seperti Dahlan Iskhan, yang juga berpotensi cuti kampanye untuk Demokrat.
Dengan kata lain, Indonesia dalam beberapa hari ke depan hingga 9 April nyaris berada pada kondisi auto-pilot state.
Yaitu, kondisi negara di mana birokrasi bekerja dengan nalarnya sendiri secara prosedural dan reguler tanpa komando akselerasi.
Indonesia sebagai sebuah negara akan tetap berjalan, tapi sekadar “melayang di angkasa”.
Konsekuensi atas loyalitas ganda-pemerintah dan kader partai-para pejabat publik ini fatal: diskonektivitas kratos (pemerintah) dan demos (rakyat).
Sebagai misal, survei opini publik Pol-Tracking Institute pada Oktober 2013 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen publik tidak mengetahui kinerja menteri.
Selain menteri dan problem pemerintahan pusat, hampir semua kepala daerah-dalam hitungan ratusan dari 524 bupati/wali kota dan gubernur-yang berangkat sebagai kader partai, akan “membiarkan” rakyat di daerahnya, karena kebutuhan partai menjadi jurkamda (daerah) untuk mengamankan dan mengembangkan basis pemilih.
Dalam kasus tertentu, beberapa kepala daerah yang sudah berputar di perbincangan nasional akan menjadi jurkamnas partai, seperti Gubernur DKI Joko Widodo.
Sedangkan anggota Dewan yang “cuti kampanye”, mereka akan lebih banyak melakukan hal itu untuk dirinya sendiri sebagai caleg inkumben.
Paling tidak, ada 507 dari 560 caleg yang kembali terjun ke daerah sebagai juru kampanye dirinya dan partainya.
Hal ini belum termasuk ribuan caleg inkumben DPRD.
Alhasil, daftar absensi dan kursi kosong di ruang sidang telah menjadi rahasia umum.
Akhirnya, dengan analisis atas tiga kategori pejabat publik “berkepentingan partai” ini, dalam beberapa hari ke depan, secara hampir bersamaan, Indonesia akan mengalami semacam vacuum of power dari level pusat hingga daerah sepanjang kampanye rapat umum dimulai sejak 16 Maret 2014.
Cuti kampanye, apalagi mengambil jam kerja, oleh pejabat publik menyisakan problem representasi karena pejabat publik yang naik melalui jalur pemilu-bukan diangkat ataupun ditunjuk seperti menteri-dipilih publik secara langsung, seperti presiden dan wakil presiden, kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota), dan anggota Dewan.
Secara teoretik dalam nalar representasi, meminjam istilah Dickerson dan Flanagan (1990), pejabat publik, terutama anggota Dewan, berada pada irisan representasi publik (delegate), representasi partai (mandate), dan representasi atas dirinya sendiri (trustee).
Artinya, jika dikaitkan dengan pemilu legislatif April 2014, pejabat publik di kursi eksekutif (presiden/wapres dan kepala daerah) serta pejabat publik di kursi legislatif hanya akan berada pada representasi mandate karena cuti kampanye adalah sebuah “tugas kepartaian” walaupun dalam beberapa kasus memberi insentif elektoral secara individual.
Artinya, dalam konteks cuti kampanye, para pejabat publik, baik eksekutif maupun legislatif, benar-benar meninggalkan representasi delegate sebagai sebuah representasi wajib karena suara pejabat publik, terutama eksekutif, benar-benar berasal dari publik.
Bagi pejabat publik di kursi eksekutif, maka dia masuk pada kepentingan representasi partai karena pemilu legislatif tidak berkonsekuensi langsung terhadap dirinya.
Sementara pejabat publik di legislatif lebih banyak masuk pada kepentingan representasi dirinya sendiri.
Selain problem representasi, walaupun tidak bisa disebut sebagai abuse of power akibat kerentanan pejabat publik menggunakan dana negara, pejabat publik yang melakukan cuti kampanye, mau tidak mau, menggunakan anggaran negara karena jasa pengawalan, rumah dinas, mobil, dan beberapa fasilitas negara yang terus melekat kepadanya, hampir sulit untuk dilepaskan sepanjang cuti kampanye. *
******
Kolom/Artikel Tempo.co