Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 12/06 – 2017 ).
Penangkapan Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Mochamad Basuki, menjadi bukti betapa korupsi di lingkungan DPRD begitu kronis. Basuki ditangkap beserta dua kepala dinas. Ketua komisi yang membidangi masalah perekonomian inilah yang diduga mengatur uang rasuah secara berkala dari kantor-kantor dinas.
Lebih parahnya lagi, Basuki seperti tak pernah kapok dipenjara. Dia pernah terjerat kasus korupsi uang premi asuransi ketika menjabat Ketua DPRD Surabaya pada 2003.
Uang sogokan Rp 600 juta setahun dari belasan dinas, yang diberikan setiap tiga bulan, membuktikan korupsi ini dilakukan secara terorganisasi. Ada indikasi bahwa setoran wajib untuk anggota Dewan ini sudah disepakati sejak anggaran disetujui. Dalihnya, ini merupakan “uang pengawasan”.
Itu sebabnya, pengusutannya tak boleh berhenti pada tiga pejabat yang ditahan. Dua kepala dinas yang ditangkap KPK hanya bertindak sebagai pengumpul setoran, sedangkan uang sogok itu berasal dari 11 dinas. Terbongkarnya modus Basuki ini bisa menjadi awal pembongkaran korupsi yang lebih besar. KPK harus menelisik kemungkinan bahwa perselingkuhan antara pengawas dan yang diawasi juga terjadi pada satuan kerja perangkat daerah dan komisi lain.
Kasus suap di Jawa Timur ini menambah jumlah anggota DPRD yang terseret kasus korupsi, mulai dari Enrekang sampai Medan dan Jakarta. Sejumlah pengamat politik melihat maraknya korupsi di level DPRD ini lantaran adanya kewenangan anggota DPRD mengatur anggaran. Kewenangan itu tercantum dalam Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Tertib DPRD. Anggota Badan Anggaran masih diberi kewenangan memasukkan pokok-pokok pikiran dalam rapat penyusunan anggaran dengan eksekutif.
Sebenarnya kewenangan memasukkan pokok-pokok pikiran ini sudah pernah dihapus dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Namun belakangan kewenangan itu dikembalikan lagi. Akibatnya, anggota Dewan, melalui Badan Anggaran, bisa memasukkan titipan proyek ke dalam anggaran.
Celah yang dimanfaatkan para penggangsir uang negara itu mesti segera ditutup. Pemerintah perlu segera merevisi peraturan tentang tata tertib DPRD ini dan mengembalikan peran Dewan sebagai pengawas, bukan pengawas merangkap pelaksana anggaran.
Dalam kasus Basuki, partai politik seharusnya ikut disalahkan. Bagaimana mungkin kader yang pernah dipenjara lantaran korupsi bisa dicalonkan lagi, bahkan menjadi ketua komisi. Partai politik itu seperti sedang mengolok-olok demokrasi.
Mereka semestinya lebih selektif memilih kader sebagai calon anggota Dewan. Meski tidak melanggar undang-undang, kader yang pernah terlibat kasus korupsi harus dicoret dari pencalonan sebagai wakil rakyat.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga harus berpikir ulang agar bisa memberikan hukuman lebih berat kepada politikus lancung, apalagi yang sebelumnya pernah terlibat korupsi, seperti Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur ini. Hukuman ringan terbukti tidak menimbulkan efek jera.
*********
Opini Tempo.co