Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Ahad, 16/04 – 2017 ).
Kita sering melihat adegan ini: di dalam bus kota, orang-orang duduk dengan ponsel masing-masing. Mereka asyik bermain game atau entah apa lagi. Mereka tak merasa berada bersama orang lain di dalam ruang yang sesak itu.
Di bus itu, ponsel menghadirkan paradoks teknologi. Saya teringat bagaimana teknologi disambut dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia:
Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Dongengan leluhur sampai malu tersipu. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang di seberang lautan. Orang Jerman telah memasang kawat laut dari Inggris sampai India! Dan kawat semacam itu membiak berjuluran ke seluruh permukaan bumi.
Ilmu memang bisa membangun sarana komunikasi yang efektif, tapi-dan ini yang diabaikan Pramoedya dalam novel itu-teknologi juga membuat jarak. Jarak itu berbeda dan lebih dalam.
Dari sebuah pondok di Hutan Hitam yang senyap di dekat Freiburg, Jerman, di tahun 1930-an, Heidegger memandang “keajaiban” teknologi dengan berbeda. Teknologi, katanya, telah membuat “semua jarak mengecil, baik dalam waktu maupun ruang”. Tapi, “Semua jarak yang dengan tergesa-gesa disisihkan itu [justru] tidak mendatangkan kedekatan.”
“Kedekatan”, he, tak dihitung dengan senti dan detik. Kedekatan, dalam hal ini, bisa lebih disebut sebagai “empati”, “keakraban”, atau “kemesraan”.
Lihat di Gunung Kendeng, Jawa Tengah. Orang hendak mendirikan pabrik semen. Mereka ukur dan rancang wilayah itu. Dengan mobil atau helikopter, dalam belasan menit para insinyur dan manajer tiba di sana; jarak mengecil, waktu lebih cepat. Tapi saat itu orang-orang itu sebenarnya tak lagi “dekat” dengan alam yang terhampar.
Bumi telah mereka reduksi hanya jadi sarana. Teknologi menjangkaunya, tapi seperti menyentuh mayat di meja anatomi. Ditelaah, diurai, kalau perlu disayat-sayat. Tanpa empati. Pengetahuan diperoleh, tentu, tapi “mengetahui” di depan kadaver itu berarti “menguasai”.
Di masa lalu, para penggerak modernisasi memujikan kapasitas manusia untuk “mengetahui” yang sebenarnya “menguasai” itu. Di tahun 1930-an, misalnya, S. Takdir Alisjahbana menganjurkan: “Bangsa kita harus mengambil sikap hidup baru: menguasai alam, berjuang melawan alam.”
Tapi seperti yang terjadi di Gunung Kendeng, ada kerusakan terjadi ketika kita melawan alam-kerusakan yang tidak hanya pada bumi, gunung kapur, sungai di dasar tanah, mungkin hutan di sekitar, tapi juga kerusakan pada perspektif kita.
Kita sangka dengan akalnya manusia berhasil membuka banyak teka-teki, memecahkan problem, menyiapkan alat, memprediksi masa depan, dan dengan itu jadi penguasa bumi. Tapi bumi di bawah kakinya tak lagi perawan, dan manusia, di takhta tinggi, sendirian, terasing. Semesta jadi jajahan. Bukan sahabat.
Dalam Minima Moralia, Adorno, filosof Jerman yang mengungsi ke Amerika itu, menggambarkan keadaan itu sebagai “hidup yang cedera”-yang tampak di Eropa sejak dua perang dunia, di zaman yang didominasi modal, komersialisasi, dan hasrat penaklukan wilayah.
Konflik yang membunuh jutaan orang itu menunjukkan betapa mengerikannya teknologi ketika bertaut dengan keserakahan modern.
Di awal abad ke-20, tokoh Bumi Manusia belum melihat kemungkinan itu. Ia masih mengelu-elukan datangnya zaman modern. Ia masih mengejek “dongengan leluhur” yang “malu tersipu” karena tak sanggup lagi menyajikan keajaiban. Ilmu pengetahuan itulah yang mampu….
Ini, tentu saja, penerus pandangan positivis abad ke-19 Eropa, yang menganggap ilmu-ilmu sebagai juru selamat dan mithologi bagian yang niscaya musnah. Tapi kini, dalam “hidup yang cedera”, soalnya lain: kita justru butuh “dongengan leluhur”. Sebagai imajinasi alternatif.
Dalam Mahabharata, setelah perang Bharatayudha, setelah satu generasi saling membunuh, orang-orang tua menyingkir ke dalam rimba. Akhirnya mereka tewas ketika hutan terbakar-seakan-akan alam memperabukan mereka.
Bagi saya, mereka menyatukan diri kembali dengan hewan dan pepohonan, tanah dan cuaca, setelah capek dan kecewa menyaksikan anak-anak mereka, diri mereka sendiri, makhluk yang cerdik dan terampil itu, tak henti-hentinya mempersiapkan kemenangan.
Kunthi, Gandari, dan Destarastra menyaksikan tragedi keluarga Bharata dan memutuskan menjauh dari kekuasaan, juga sisa-sisanya. Mereka masuk ke kehidupan yang tak tepermanai, bebas dari kolonisasi manusia.
Di sana hening akrab-sesuatu yang hilang sekarang, di zaman media sosial, ketika orang saling sapa saling cerca tiap detik, dan mabuk dalam keributan, ketika orang tak punya tempat, tak punya waktu, untuk berkelana seperti yang dipujikan puisi Wedhatama di Jawa abad ke-19: lelana leladan sepi.
Tentu saja sepi, hening, dan rimba itu bisa sebagai kiasan: mengambil jarak dan memandang dengan kritis dunia yang kini ribut, rakus, dan tak tahu kapan berhenti.
Goenawan Mohamad
********
Tempo.co