SELASA, 11 JULI 2017 | 01:07 WIB
Arya Budi
Peneliti Research Center for Politics and Government UGM
Fotografer : John Doddy Hidayat
Sampai saat ini, ada beberapa isu krusial di DPR yang bisa jadi akan menentukan hidup-matinya partai, panas-dinginnya kontestasi, dan efektif-tidaknya pemerintahan yang dihasilkan. Tapi debat perihal ambang batas pencalonan presiden adalah faktor yang paling berpengaruh, baik pada konstelasi politik Pemilu 2019 maupun pemerintahan yang dihasilkannya.
Pertama, pencalonan presiden berimplikasi pada bagaimana koalisi partai terbentuk. Kedua, paralelisme platform calon presiden dan partai pendukungnya akan menentukan bagaimana pemilih menggunakan suaranya, seperti coattail effect, yaitu preferensi yang sama antara pilihan calon presiden dan partai pengusungnya karena kecenderungan psikologis pemilih pada calon presiden.
Tapi tingkat perbedaan pilihan atas calon presiden dan partai pengusungnya bisa saja tinggi karena pencalonan presiden yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Hal tersebut bisa menciptakan presiden minoritas, sehingga pemerintahan tidak berjalan efektif karena presiden tidak didukung partai-partai non-pemerintah di parlemen.
Hingga kini, praktis hanya PDIP, Golkar, dan NasDem (42 persen kursi) yang secara jelas mendukung ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Tujuh partai lainnya (58 persen kursi) cenderung untuk menghapus ambang batas itu. Apalagi, atas basis keserentakan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, Mahkamah Konstitusi bisa saja mengabulkan uji materi jika ambang batas pencalonan akhirnya tetap diberlakukan.
Artinya, jika ambang batas pencalonan presiden ditiadakan, setiap partai yang mengikuti Pemilu 2019 mempunyai kesempatan mencalonkan presiden. Lanskap kontestasi Pemilu 2019 akan berubah sama sekali dibanding empat pemilu sebelumnya.
Padahal literatur dan pengalaman negara-negara presidensial menunjukkan bahwa Effective Number of Presidential Candidates (ENPRES) yang besar (lebih dari lima kandidat) cenderung menciptakan fragmentasi parlemen yang lebih tinggi dibanding ENPRES kecil (2 kandidat). Dengan majority system atau pemilu dua putaran demi mendapatkan presiden terpilih yang didukung mayoritas pemilih (50 persen+1), pemilihan presiden di Indonesia memang mampu menciptakan dua kutub politik karena berakhir dengan dua kandidat.
Hanya pemilihan presiden 2004 yang berlangsung dua putaran karena SBY-JK waktu itu hanya mendapatkan 33 persen. Dalam Pemilu 2009, SBY menang telak 60 persen atas dua kandidat lainnya. Adapun dalam Pemilu 2014, Jokowi-JK menang 53 persen atas Prabowo-Hatta.
Apalagi politik Indonesia mempunyai kerentanan terhadap tidak bekerjanya penyerentakan pemilu dalam menghasilkan pemerintahan efektif. Kegagalan penyerentakan pemilu bisa terletak pada tiga aktor pemilu. Pertama, rendahnya tingkat asosiasi seseorang terhadap partai yang memicu ketidakparalelan pilihan partai dan presiden.
Banyak hasil survei menunjukkan hanya sekitar 15-20 persen pemilih yang mempunyai pilihan tetap terhadap partai politik tertentu. Sisanya, lebih dari 70 persen pemilih tidak mempunyai preferensi tetap terhadap partai.
Kedua, partai politik sendiri mempunyai tingkat party contrast–perbedaan satu partai dan partai lainnya dalam hal platform politik–yang rendah. Rendahnya party contrast berpengaruh pada lebih beralihnya preferensi pemilih terhadap figur kandidat dibanding partai. Apalagi, secara teoretis, pemilih cenderung mengikuti perbedaan antarkandidat dibanding party contrast (Highton, 2010).
Dua faktor tersebut berpotensi memunculkan risiko mekanis pada hasil pemilu: terciptanya oposisi mayoritas alias presiden minoritas. Tiga kali pemilihan presiden secara langsung di Indonesia menunjukkan bahwa presiden minoritas pasca-pemilu akan berakhir pada renegosiasi koalisi secara pragmatis kepada partai-partai rival. Akhirnya, pragmatisme pada koalisi pra-elektoral diperparah oleh pragmatisme politik koalisi pasca-elektoral.
Untuk mengantisipasi risiko ini, perlu semacam mitigasi elektoral. Singkat kata, konvensi pencalonan kandidat presiden oleh partai politik (primary elections atau pemilihan pendahuluan) adalah mitigasi elektoral yang diperlukan.
Selain relevan dengan agenda pelembagaan partai dan cocok dengan penyerentakan pemilu, konvensi yang inklusif adalah prakondisi penting menciptakan ENPRES yang rendah (2 atau 3 pasangan kandidat), paralelisme pemilih presiden dan partai, serta koalisi partai pendukung presiden yang terkonsolidasi.
Fungsionaris partai perlu tahu bahwa semakin banyak partai politik di dunia yang mengadopsi pemilihan pendahuluan. Selain di Amerika Serikat, Estaun (2017) mencatat 14 dari 19 negara Amerika Latin memasukkan pemilihan pendahuluan oleh partai ke dalam aturan formal negara.
*********
Kolom Tempo.co