Novriantoni Kahar,
Dosen Universitas Paramadina
Garut News ( Rabu, 12/03 – 2014 ).
Pernahkah Anda mendengar istilah caleg cabe-cabean?
Saya pun baru dengar dari seorang kawan (sebut saja namanya AM) yang kini sibuk menjadi tim sukses calon anggota legislatif.
Alkisah, pagi itu telepon berdering dan AM antusias menceritakan profesi barunya yang begitu menggairahkan.
Karena kisahnya menarik, kantuk saya pun hilang.
Ya, kisahnya caleg cabe-cabean itu.
Kawan AM bilang, “Istilah ini belum ada di kamus politik kita, Bro! Ente perlu tahu, ini istilah yang sudah umum di lingkungan tim sukses caleg.”
Kawan AM pun bangga, caleg yang dia tangani bukan jenis cabe-cabean.
Ini caleg benaran, bahkan petahana yang siap melenggang lagi ke Senayan.
Selaku tim sukses, dia tak kesulitan jaringan dan logistik.
Sang caleg pun siap menggelontorkan puluhan miliar rupiah demi harga diri.
Masak, caleg petahana tak terpilih lagi?
Mau ke mana menyurukkan muka?
Jika caleg benaran mempersiapkan diri begitu rupa, bagaimana nasib caleg cabe-cabean?
Pertama perlu dijelaskan dulu makna cabe-cabean yang sempat jadi trending topic di Twitter itu.
Istilah ini merujuk ke para ABG (anak baru gede) cewek yang menjadi tim pesorak, bahkan yang dipertaruhkan, dalam balapan motor jalanan.
Mereka biasanya berpakaian seksi, hot bagai cabai.
Konon ada pula istilah “terong-terongan”, bahkan “terong dicabein”.
Terong-terongan ini jenis cabe-cabean cowok, sementara terong dicabein merujuk ke banci.
Caleg cabe-cabean, menurut kawan AM, punya dua kemungkinan.
Pertama, dipasang sekadar pemanis saja oleh partai.
Kemungkinan lain: demi memberi kesan bahwa partai cukup akomodatif, misalnya terhadap kaum aktivis dan intelektual di luar lingkungan elite partai.
Lalu bagaimana peluang caleg cabe-cabean untuk lolos menjadi anggota Dewan?
Secara teoretis tentu bergantung pada popularitas dan elektabilitas mereka.
Namun, menurut kawan AM, meski bukan segala-galanya, kekuatan jaringan dan logistik juga sangat menentukan nasib mereka.
Untuk menggerakkan semua mesin kampanye (memperkenalkan diri, meluaskan dan menguatkan jaringan, serta memastikan perolehan suara dan mengamankannya), perlu biaya yang tak sedikit.
Akan sangat beruntung bila caleg cabe-cabean atau terong-terongan ini punya modal sosial dan finansial yang memadai.
Jika tidak, nasib mereka akan sangat bergantung pada kemurahan hati sana-sini.
Dengar-dengar, beberapa caleg cabe-cabean mendapat sokongan maksimal atau optimal dari bos atau elite partai yang mengusung mereka.
Namun banyak juga yang justru tidak mendapat kemewahan itu.
Mereka kebingungan, tak siap menggarap peluang dan menanggung ongkos yang harus dikeluarkan.
Nasib caleg jenis ini mungkin hanya akan berakhir seperti cabe benaran: diulek atau diblender, masuk penggorengan, jadilah sambal, pedas dimakan, lalu keluar.
Sampai di sini, saya terenyuh membayangkan beberapa kawan yang kini mencalonkan diri menjadi anggota Dewan.
Mereka intelektual dan aktivis yang umumnya bermodal pas-pasan.
Sebagian masih serius menggarap peluang, selebihnya menyerah di tengah jalan.
Akan ironis sekali bila setelah pemilu mereka yang justru jadi cabe-cabean atau terong-terongan, sementara beberapa yang semula cabe-cabean atau terong-terongan justru duduk manis sebagai anggota Dewan.
Bila itu terjadi, betapa pedasnya politik kehidupan! *
*****
Kolom/Artikel Tempo.co