Garut News ( Senin, 10/02 – 2014 ).
Memajang artis calon legislator bukanlah cara tepat menyelamatkan partai politik.
Langkah ini mungkin mendongkrak popularitas partai, tetapi hanya sementara.
Perumusan platform sesuai aspirasi masyarakat tetap menjadi kunci memertahankan eksistensi partai.
Cara pragmatis itu dilakukan nyaris semua partai.
Partai besar seperti Demokrat, PDI Perjuangan, dan Gokar masih tergoda memasang artis.
Begitu pula partai lain, seperti Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Jangan heran apabila banyak wajah penyanyi, model, serta pemain dan bintang film bertaburan pada daftar caleg.
Resep serupa pernah dipraktekkan pada masa Orde Baru.
Bedanya, sebagian besar artis hanya dipampang sebagai penarik massa, dan sedikit masuk parlemen.
Nah, sejak era reformasi, semakin banyak artis jadi politikus.
Fenomena ini belum berhenti kendati sebagian dari mereka tak mampu menjadi legislator andal.
Bahkan ada artis malahan terjerat kasus korupsi.
Petinggi partai politik semestinya jeli membaca keinginan masyarakat.
Publik muak melihat banyaknya politikus terjerat kasus korupsi.
Orang umumnya menginginkan figur jujur, mau bekerja keras, dan antikorupsi.
Partai politik seharusnya memajang para kader dan tokoh memenuhi kriteria itu.
Khalayak juga mendambakan partai politik peduli terhadap problem nyata, seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan transportasi.
Semua ini tak bisa dijawab dengan menyulap para artis menjadi politikus.
Dalam waktu sekejap, tidaklah mungkin mereka mampu memahami pelbagai persoalan ruwet negara ini.
Artinya, mereka tak bisa diharapkan menjadi pengawas pemerintah sekaligus legislator mumpuni.
Partai politik sulit berubah lantaran umumnya terjebak praktek oligarki internal, dan tak bisa menjauhi korupsi.
Hal ini membuat partai ditinggalkan masyarakat.
Partai Demokrat, misalnya, susah menjual lagi jargon “Bersih, Cerdas, dan Santun” setelah banyak kadernya terjerat kasus korupsi.
Begitu pula PKS, selama ini bersemboyan “Jujur dan Bersih”.
Tanpa reformasi di internal partai, slogan-slogan itu hanya menjadi lelucon masyarakat.
Menguatnya isu penting seperti korupsi membuat pemilahan ideologi lama-nasionalis dan agama-terasa kabur.
Inilah perlunya kalangan partai politik berubah, dan merumuskan lagi platform politik sehingga lebih menyentuh kepentingan masyarakat.
Keliru besar apabila partai politik ingin membendung arus perubahan.
Misalnya, berusaha menyetop perang terhadap korupsi agar masalah ini tidak menjadi isu sentral.
Begitu pula upaya membodohi masyarakat dengan memajang para artis sebagai caleg.
Cara ini bisa sia-sia lantaran golongan menengah masyarakat kita semakin banyak dan pemilih semakin cerdas.
******
Opini/Tempo.co