Bohong

Bohong

1007
0
SHARE
Ilustrasi.

Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Ahad, 05/03 – 2017 ).

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Dengarkan ceritaku: di sebuah abad yang tak kusebut, dalam perjalanan laut ke Sri Lanka, kapalku singgah di sebuah pulau untuk mengambil air dan kayu bakar. Tiba-tiba badai yang dahsyat menghantam. Ribuan pohon diterbangkan angin ke angkasa delapan kilometer tingginya.

Dari bawah pohon-pohon besar itu tampak seperti bulu-bulu burung yang bertaburan, tapi begitu badai reda, mereka jatuh kembali di tempat mereka semula, persis, dan berakar kembali.

Kecuali pohon yang terbesar. Di cabangnya ada sepasang orang tua yang jujur. Di sana mereka memetik ketimun- ya, di pulau itu sayur-mayur tumbuh di pohon. Karena mereka bergayut di dahan itu, pohonnya jatuh melintang ke bumi. Kecelakaan terjadi. Ia menimpa gubernur pulau itu yang sedang bersembunyi di pekarangan karena takut rumahnya dilanda badai. Pak Gubernur tewas seketika.

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Bagi penduduk pulau itu, yang terjadi bukan malapetaka. Mereka membenci si gubernur yang rakus, bakhil, dan menindas. Mereka pun dengan gembira mengangkat pasangan pemetik ketimun itu sebagai pemimpin yang baru, sebagai tanda terima kasih.

Baron Munchausen berhenti bercerita di sini- dan kita akan mengikuti perlawatannya yang ajaib lewat buku yang mula-mula disusun tipis oleh Rudolph Erich Raspe, kemudian ditambah-tambahi banyak penulis dan pengkhayal. Kisah pembual itu berasal dari Jerman tapi terbit sebagai buku dalam bahasa Inggris di London, 1785, dan segera dialihbahasakan di banyak negeri.

Waktu saya berumur 11 tahun, saya baca terjemahannya dalam edisi yang bagus (waktu itu mutu produksi buku sangat mengesankan, terutama oleh penerbit milik Belanda); juga sadurannya, diterbitkan Balai Pustaka, Pak Bohong.

Bohong ternyata bisa mengasyikkan. Tapi jika kita merasa betah dengan sang Baron, itu karena ia personifikasi sikap yang, dengan semua bualannya, tak hendak merusak kepercayaan dan menghina kecerdasan. Dustanya selalu demikian berlebihan hingga kita diharapkan untuk tak percaya- malah ketawa.

Kisah-kisah Baron Munchausen mengandung paradoks itu: kebohongan itu tak kita percayai karena kita punya asumsi tentang apa yang benar; tapi pada saat yang sama kebenaran yang kita pegang membiarkan dusta itu. Bahkan menikmatinya.

Itulah dusta jenis Munchausen. Ia berbeda dengan dusta Machiavelli. “Kadang-kadang kata harus jadi tabir fakta-fakta,” kata penulis Il Principe itu menghalalkan tipu daya. Pada Machiavelli, dusta tak untuk dinikmati, melainkan bagian dari senjata di sebuah sengketa. Untuk menang, orang menyebarkan kebohongan tanpa risi, menyaksikan demagogi yang dengan berapi-api memompa hoax dan fitnah.

Hidup di kancah dusta Machiavelli, kini orang mensinyalir datangnya masa “pasca-kebenaran”, the post-truth era, karena kebenaran sudah tak relevan lagi dalam komunikasi.

Ralph Keyes, pengarang The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life, berkata, “Kita hidup di sebuah lingkungan yang tak punya cukup penangkal bagi kecenderungan kita mengelabui orang lain.” Padahal kita tahu, mengelabui dan dikelabui bukanlah formula yang sehat bagi sebuah kehidupan sosial.

Tapi meskipun kebenaran dianggap tak penting lagi, kita tak seluruhnya hidup dengan dusta Machiavelli. Kita masih punya dusta Munchausen- dusta yang tak hendak menghabisi dan dihabisi kebenaran. Di sana ada ruang hidup buat yang saya namakan “para-kebenaran”.

Kata “para” berasal dari bahasa Yunani: “di samping”. Sebuah cerita yang mengandung “para-kebenaran” adalah sebuah cerita yang tak sepenuhnya berisi kebenaran sebagaimana yang dirumuskan Thomas Aquinas di abad ke-13 (dan terus jadi pegangan ilmu-ilmu): veritas est adquatio rei et intellectus.

Dalam rumusan itu, sebuah pernyataan dianggap benar bila ia merupakan intellectus (pikiran, pengetahuan) yang cocok (adquatio) dengan rei (kenyataan). Kini rumusan itu guyah. Orang makin menyadari bahwa kenyataan, rei, dianggap cocok dengan pengetahuan, intellectus, karena ia dibentuk agar sesuai dengan pikiran kita.

Juga orang makin menyadari, kenyataan tak pernah berbicara sendiri. Kenyataan ada karena diwujudkan oleh bahasa dan selamanya berada dalam bahasa. Ia muncul sebagai tafsir. Ia bukan fakta. Fakta tak pernah ada, kata Nietzsche. Hanya “tafsir” yang ada.

Tafsir itulah “para-kebenaran”. Ia tak taklid kepada kebenaran ala Aquinas, tapi ia tak menafikannya. “Para-kebenaran” hidup dalam kisah Munchausen sebagai selingan di dunia yang sedang kehilangan. Dalam film The Adventures of Baron Munchausen sang Baron mengeluh.

“Kini semuanya logika dan nalar. Sains, kemajuan, hukum hidraulik, hukum ini itu, tak ada yang lain.” Ia putus asa.

Tak ada ruang yang bebas dari kebenaran ilmiah, tempat ia menyambut ketimun pohon dan lautan anggur- imajinasi dalam tafsir.

********
Goenawan Mohamad/Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY