Beras dan Kemiskinan

Beras dan Kemiskinan

907
0
SHARE
Buruh Tani Olah Areal Persawahan.

RABU, 19 JULI 2017 | 02:44 WIB

Khudori

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Fotografer : John Doddy Hidayat

Buruh Tani Olah Areal Persawahan.
Buruh Tani Olah Areal Persawahan.

Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Bambang Widianto, menyatakan pada awal Juli lalu bahwa angka kemiskinan Maret 2017 berpeluang naik. Hal ini justru mengkhawatirkan lantaran penyaluran bantuan beras pemerintah (rastra) terlambat.

Keterlambatan itu terjadi pada Januari-Maret 2017, tepat saat Badan Pusat Statistik (BPS) mengambil sampel kemiskinan. Angka kemiskinan per Maret 2017 baru akan dirilis BPS pada September nanti.

Kekhawatiran itu beralasan. Beras merupakan komoditas pangan terpenting yang menentukan tinggi-rendahnya angka kemiskinan. Dari semua jenis pangan, beras paling dominan dalam struktur pengeluaran rumah tangga: menguras rata-rata 22 persen pendapatan keluarga miskin. Bahkan, di pedesaan, porsi pengeluaran rumah tangga miskin untuk beras mencapai 25,35 persen. Mereka mendadak jatuh miskin ketika harga beras melonjak.

Jumlah warga miskin tidak kunjung turun signifikan dalam dekade terakhir karena ketidakstabilan harga pangan, terutama beras, masih berulang. Bersama sejumlah jenis pangan lain, seperti bawang (merah dan putih) dan cabai (merah dan keriting), beras menjadi “perampok uang rakyat” lewat perannya yang besar dalam inflasi. Karena itu, presiden pada era pemerintahan mana pun, termasuk duet Joko Widodo-Jusuf Kalla, berupaya mengendalikan harga pangan.

Pangan, terutama beras, adalah pendorong utama inflasi. Inflasi akan menyebabkan naiknya suku bunga, yang akan menghancurkan sektor riil. Di Indonesia, ada kecenderungan kuat sektor pertanian selalu dituntut menyediakan beras dengan harga murah untuk mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan dagang). Sektor pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan menyediakan beras murah bagi para pekerja dan kaum miskin kota.

Perlakuan ini tidak lepas dari posisi strategis beras. Hampir semua perut penduduk negeri ini bergantung pada beras. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif lebih unggul dari jenis pangan lain. Pangsa beras pada konsumsi energi per kapita mencapai 54,3 persen. Artinya, lebih dari setengah asupan energi kita bersumber dari beras. Sekitar 40 persen sumber protein dipenuhi dari beras.

Dari sisi produsen, usaha tani padi melibatkan 14,147 juta rumah tangga atau hampir seperempat penduduk negeri ini. Pendek kata, beras merupakan komoditas yang strategis karena menjadi penopang ketahanan pangan, ekonomi, dan nasional. Khusus bagi konsumen, terutama yang miskin, beras merupakan komoditas tak tergantikan. Ketersediaan dan jaminan akses bukan saja jadi komponen vital agar mereka tetap bisa eksis, tapi juga tidak terjerembap dalam lembah kemiskinan.

Selama bertahun-tahun, strategi stabilisasi harga di negeri ini mengajarkan, agar bisa berlangsung dengan baik, strategi tersebut memerlukan integrasi hulu-hilir dari kebijakan produksi, referensi harga gabah dan beras, subsidi harga bagi warga kurang mampu, operasi pasar, dan sistem tata niaga beras secara keseluruhan. Apa yang terjadi? Ternyata langkah pemerintah bersifat tambal-sulam. Jika kemudian bantuan beras terlambat dan kemiskinan naik, itu merupakan hal yang lumrah.

Data-data yang ada menunjukkan itu. Awal 2015, rastra terlambat dibagikan karena ada wacana menggantinya dengan voucher atau e-money, bahkan ada rencana menghapus rastra. Hal ini diperburuk langkah sejumlah pemerintah daerah yang terlambat mengeluarkan surat permintaan alokasi raskin. Karena tetap perlu makan, 15,5 juta rumah tangga yang tidak menerima rastra akhirnya berburu beras di pasar. Perburuan ini menambah eskalasi harga beras di pasaran.

Kenaikan harga ini bisa ditekan bila pemerintah mengimbangi dengan operasi pasar yang memadai. Masalahnya, bukan hanya terlambat, volume beras operasi pasar juga kecil: hanya 75 ribu ton. Padahal volume tiga bulan rastra yang terlambat dibagikan mencapai 700 ribu ton. Akibatnya, jumlah warga miskin naik: dari 27,73 juta orang (10,96 persen) pada September 2014 menjadi 28,59 juta orang (11,22 persen) pada Maret 2015, bertambah 0,86 juta orang.

Akhir Februari 2017, pemerintah resmi mengubah mekanisme penyaluran rastra di 44 kabupaten/kota. Program bantuan pangan nontunai dalam bentuk voucher itu menjangkau 1,5 juta keluarga miskin, atau 9,6 persen dari 15,5 juta rumah tangga sasaran rastra. Tiap bulan mereka menerima transfer Rp 110 ribu. Program ini melibatkan 14 ribu pengecer kebutuhan pokok, terutama beras.

Dengan asumsi harga beras medium Rp 8.200-8.500 per kilogram, rakyat miskin mendapat 13 kilogram beras atau dua kali rastra yang diterima selama ini. Ini kurang dari setengah kebutuhan beras bulanan keluarga (Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2015).

Bantuan itu tidak bisa diambil tunai. Masalahnya, siapa yang mengendalikan bila uang bantuan nontunai ditukar pangan, terutama beras, lalu pangan dijual untuk membeli rokok atau pulsa telepon? Bukankah hal serupa sudah terjadi pada Kartu Jakarta Pintar? Jika itu terjadi, bukan mustahil kemiskinan yang per September 2016 masih mencapai 27,76 juta orang (10,7 persen) akan sulit ditekan.

*********

Kolom Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY