Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Selasa, 23/05 – 2017 ).
Calon aparat kepolisian seharusnya dididik untuk mengayomi, bukan melampiaskan dendam. Penganiayaan yang menewaskan seorang taruna Akademi Kepolisian mesti menjadi alarm peringatan untuk segera membenahi model pendidikan lembaga itu.
Taruna Tingkat II Akademi Kepolisian, Brigadir Dua Taruna Mohammad Adam, tewas dengan luka di paru-paru. Dia dianiaya sejumlah seniornya di sebuah gudang pada Kamis dinihari pekan lalu karena dianggap tidak berdisiplin. Polisi telah menetapkan 14 taruna senior korban sebagai tersangka.
Kematian Adam menandakan bahwa pendidikan kepolisian masih menerapkan pola lama, yang penuh kekerasan. Kultur ini bisa jadi merupakan sisa dari model pendidikan militer, seperti ketika kepolisian dan tentara tergabung dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia hingga 2000. Padahal tantangan kepolisian pada era modern sudah jauh berubah.
Kepolisian zaman dulu memang kerap mengandalkan kekerasan. Penyidik tak jarang menyiksa tersangka demi mendapatkan pengakuan dalam suatu perkara. Model pendidikan taruna pun kerap diiringi dengan kekerasan, terutama oleh senior terhadap junior. Budaya balas dendam menurun dari senior ke junior.
Model seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan tantangan kepolisian ke depan. Pada era modern, polisi dituntut menghargai hak asasi manusia. Pendekatan sosial kepada masyarakat menuntut personel kepolisian memiliki kemampuan persuasif.
Dalam pengungkapan kasus kejahatan, anggota kepolisian juga diharuskan menggunakan pendekatan keilmuan, yang tak lagi mengejar pengakuan tersangka semata.
Penganiayaan yang terjadi di lingkup Akademi Kepolisian memaksa institusi ini berbenah. Pengawasan oleh pembina terhadap para taruna harus diperketat. Dalam tataran teknis, misalnya, petugas piket perlu memastikan langsung apakah peserta didik sudah berada di bilik asrama masing-masing, terutama pada jam-jam genting sepanjang tengah malam sampai subuh.
Pembina juga semestinya mengenali karakter anak didik mereka, siapa yang memiliki kecenderungan agresif, pemberontak, penurut, atau sekadar mengikuti kelompok. Pengenalan terhadap individu ini bisa menjadi langkah preventif untuk menghindari potensi kekerasan.
Pembagian peran di antara senior Adam-siapa yang memukul, memberi perintah, dan mengawasi situasi saat penganiayaan-menjadi indikasi sifat seorang taruna dalam kelompok.
Perlu usaha keras agar kekerasan yang memakan korban jiwa ini tak kembali terulang. Jangan sampai orang tua akhirnya waswas sepanjang periode putra mereka menempuh pendidikan kepolisian. Mimpi taruna menjadi polisi masa depan pun bisa kandas karena kekerasan senior.
**********
Tempo.co