Belajar Kedermawanan dan Kerelawanan dari Gempa Lombok

Belajar Kedermawanan dan Kerelawanan dari Gempa Lombok

775
0
SHARE
Tulisan pengungsi korban gempa bumi dipasang di sebuah pohon di sekitar lokasi tempat pengungsian darurat di Kayangan, Lombok Utara, NTB, Minggu (12/8). Foto: Antara/Zabur Karuru

Ahad 26 Agustus 2018 00:04 WIB
Red: Karta Raharja Ucu

“Soal duka, bangsa kita telah belajar bahwa berbagi bukanlah pilihan, tetapi keharusan”

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Herri Cahyadi

Tulisan pengungsi korban gempa bumi dipasang di sebuah pohon di sekitar lokasi tempat pengungsian darurat di Kayangan, Lombok Utara, NTB, Minggu (12/8). Foto: Antara/Zabur Karuru.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan telah terjadi gempa susulan hingga ratusan kali. Gempa dengan dampak terbesar terjadi pada 29 Juli sebagai foreshock (gempa awalan) dan 5 Agustus sebagai mainshock (gempa utama). Di Lombok Utara, nyaris 90 persen bangunan roboh atau rusak berat.

Data terakhir korban meninggal 555 orang, sedangkan jumlah pengungsi akibat gempa sebanyak 402.529 orang yang tersebar di Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Timur, dan Mataram. Kerugian diprediksi menembus angka Rp 5 triliun.

Indonesia, khususnya masyarakat Lombok, lagi-lagi harus merespons bencana ini dengan duka—tapi bukan berarti menyerah. Meski pemerintah pusat tidak menetapkan gempa ini sebagai bencana nasional, bukan berarti warga luar Nusa Tenggara Barat (NTB) tak peduli.

Dukungan dari masyarakat luas begitu terasa sehingga selama beberapa hari gelombang relawan dan bantuan datang nonstop silih berganti. Kita bisa lihat ketika, misalnya, kemacetan sepanjang Jalan Raya Pemenang (Lombok Utara) yang disebabkan alat berat membersihkan puing-puing reruntuhan, rata-rata mobil, pikap, serta truk yang lewat mengangkut barang-barang bantuan.

Soal duka, bangsa kita telah belajar bahwa berbagi bukanlah pilihan, tetapi keharusan.
Masyarakat sendiri sangat terbuka dan senang dengan para relawan yang sengaja datang ke Lombok untuk berpartisipasi dalam menanggulangi bencana. Seperti base camp kami, Rumah Lombok, yang biasanya merupakan guest house khusus backpacker, berubah fungsi menjadi tempat menginap relawan secara gratis.

Selama emergensi, Rumah Lombok memberikan fasilitas yang ada untuk para relawan. Ini sangat membantu bagi komunitas-komunitas yang tidak memiliki posko sendiri. Mereka bisa drop off bantuan di base camp Rumah Lombok, lalu diteruskan ke titik-titik posko penerimaan bantuan warga. Mas Rizqon, selaku pengelola Rumah Lombok, sangat terbuka dan menyambut dengan antusias setiap relawan yang ingin bermalam di sana.

Bukan hanya Rumah Lombok, tetapi banyak individu juga menawarkan bantuan yang sama bagi para relawan seperti, misalnya, Ibu Mega Nisfa, dosen Universitas Mataram dan Ibu Septia Putri, hakim PTUN Mataram. Mereka ada di antara sekian banyak warga yang mengapresiasi relawan yang datang ke Lombok dengan membantu kemudahan tempat dan mobilisasi. Dua individu ini adalah yang saya kenal. Tentu masih banyak lagi di Lombok orang-orang seperti mereka.

Perlu dicatat, apresiasi ini bukanlah disebabkan banyaknya korban jiwa atau masifnya kehancuran rumah-rumah warga. Namun karena timbal balik dari sikap altruisme para relawan. Ini adalah siklus kebaikan yang tak berujung.

Tidak ketinggalan pula sejumlah perusahaan kargo yang memberikan fasilitas pengiriman gratis untuk bantuan ke Lombok seperti Pos Indonesia dan kargo-kargo nasional. Ini belum terhitung dari banyaknya perusahaan besar yang mengirimkan bantuan ke titik-titik pengungsian atau melalui lembaga-lembaga resmi terpercaya. Seluruh komunitas dan organisasi yang terjun ke lapangan pun mengibarkan bendera serta spanduk sebagai bukti eksistensi.

Sebenarnya ini bukan sekadar soal keberadaan atau citra, tapi ini soal seruan. Seruan kepada kedermawanan dan kerelawanan. Bahwa kita jadi tahu begitu banyak komponen masyarakat yang peduli.

Gerakan kedermawanan ini begitu masif sehingga kita bahkan dengan mudah menemukan masyarakat umum turut membantu semampunya. Mereka menggunakan mobil atau pikap membawa bantuan pribadi atau keluarga. Dengan penuh harapan mereka konvoi jauh-jauh dari rumah.

Tak ketinggalan Sandiaga Uno —yang sempat akan mampir ke base camp relawan Rumah Lombok, tetapi tidak jadi— ikut turun langsung ke kamp pengungsian dan menyumbang dana yang relatif besar dari kantong pribadinya. Terlepas dari status beliau sebagai cawapres, kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tentu mengobati rasa rindu mereka untuk menuangkan keluh-kesah. Sungguh kita tidak perlu media-media besar untuk meliput tragedi ini.

Namun kita butuh jiwa-jiwa besar yang rela meluangkan tenaga dan pikiran untuk membantu sesama anak bangsa. Dan sekali lagi, Indonesia telah membuktikan kesigapan kolektif terhadap bencana adalah kearifan yang dimiliki sejak lama.

Sejatinya kedermawanan dan kerelawanan adalah jiwa bangsa kita. Ini realita yang tidak bisa ditutupi sekalipun oleh ganasnya perpolitikan yang terkadang justru memecah-belah. Semangat yang tidak didasari alasan apapun selain kemanusiaan. Melewati batas-batas suku, agama dan strata sosial.

*) Relawan gempa Lombok.

*******

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY