Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 19/05 – 2017 ).
Bebasnya Urip Tri Gunawan lebih cepat dari masa hukumannya melukai rasa keadilan kita. Dihukum 20 tahun penjara karena menerima suap Rp 6 miliar dari pengusaha Artalyta Suryani, ia semestinya baru bebas pada 2028. Hingga bebas pada pekan lalu, Urip ternyata hanya dikerangkeng selama 9 tahun.
Hakim menjatuhkan vonis 20 tahun bui pada 2008 untuk memberi efek jera bagi penegak hukum yang mengkhianati pemberantasan korupsi seperti Urip. Sebagai jaksa yang tugasnya mengusut kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim, Urip malah berkolaborasi dengan pihak yang beperkara.
Ia mendorong kasus Sjamsul menjadi perdata, mengarahkan Artalyta membuat surat sakit atas nama Sjamsul agar bisa mangkir dari pemeriksaan, dan memeras bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glen Yusuf.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyebut pembebasan Urip memenuhi syarat. Alasannya, ia telah menjalani dua pertiga masa hukuman plus mendapat remisi 52 bulan. Yang jadi masalah, pemberian remisi tersebut tak transparan.
Publik tidak mengetahui berapa hari ia mendapat potongan hukuman tiap kali ada remisi–umum, khusus, atau tambahan–dan alasan yang mendasari pemberian remisi.
Royalnya diskon hukuman itu tak sejalan dengan semangat pengetatan pemberian remisi yang dicanangkan pemerintah. Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah yang isinya membatasi pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.
Semestinya, walau peraturan tersebut tak berlaku surut, niat untuk tak mengobral keringanan hukuman tidak kendur. Jangan sampai ada anggapan bahwa Kementerian Hukum menyiasati aturan dalam memangkas hukuman koruptor.
Sebenarnya tak gampang bagi narapidana melenggang keluar dari bui dengan status bebas bersyarat. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM wajib meminta rekomendasi lembaga penegak hukum yang dahulu mengusut kasusnya.
Khusus soal Urip, Kementerian Hukum menyatakan pembebasan bersyaratnya sudah dikonsultasikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Anehnya, komisi antikorupsi merasa tak pernah merekomendasikan pembebasan Urip. Surat yang dikirim Kementerian Hukum hanya membicarakan pelunasan denda yang dijatuhkan hakim kepada Urip bersamaan dengan hukuman penjara. KPK pun belum sempat membalas surat tersebut.
Dalam aturan, pembebasan bersyarat tak boleh semata-mata demi memenuhi hak terpidana. Sebelum memberikan rekomendasi pembebasan bersyarat kepada Menteri Hukum dan HAM, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan wajib “memperhatikan rasa keadilan masyarakat”--tertulis persis demikian. Inilah yang sekarang diabaikan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Daya rusaknya bukan hanya menggerus keuangan negara, melainkan juga merampas hak-hak sosial dan ekonomi warga negara. Sudah sepatutnya koruptor menjalani hukuman seberat-beratnya.
***********
Tempo.co