Batuk Napoleon dan Budaya Mundur

Batuk Napoleon dan Budaya Mundur

905
0
SHARE
Asma Nadia (Daan Yahya/Republika).

Sabtu , 29 April 2017, 06:00 WIB

Red: Maman Sudiaman

Oleh : Asma Nadia

Asma Nadia (Daan Yahya/Republika).
Asma Nadia (Daan Yahya/Republika).

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang perwira menghadap Napoleon Bonaparte, menanyakan kebijakan sang kaisar terhadap seribu dua ratus tawanan Turki yang tertangkap. Kebetulan pemimpin tertinggi Prancis tersebut sedang menderita flu berat sehingga sering kali terbatuk-batuk.

Lantaran kesal, orang terkuat di Eropa itu mengumpat “ma sacre toux!” yang artinya “batuk sialan!”. Namun, gara-gara kalimat diiringi suara batuk, sang perwira mengira mendengar perintah “massacrez tous!” yang bermakna “bunuh semua!”. Akibat kesalapahaman sepele inilah, ribuan tawanan tewas dibantai.

Kisah tragis ini, menunjukkan betapa kata-kata seorang pemimpin mempunyai pengaruh bagi kehidupan. Sebuah kata atau kalimat yang diucapkan pejabat publik hingga saat ini terbukti masih berdampak besar. Imbasnya bisa berupa kecemasan atau kemarahan massal yang mengakibatkan pemborosan anggaran pemerintah karena terpaksa dialokasikan untuk meredam, atau bahkan kejatuhan politik.

Baru-baru ini Batuk Napoleon—anggap saja ini istilah untuk keseleo lidah pejabat yang berdampak luas—kembali terjadi di Jepang.

Masahiro Imamura, Menteri Rekonstruksi Bencana Jepang, seperti dilansir AFP Rabu 26 April, mengemukakan pernyataan kontroversial tentang gempa bawah laut pada 11 Maret 2011 yang memicu tsunami di sepanjang pantai timur laut Jepang. Lebih dari 18.500 orang tewas maupun hilang. Tiga reaktor nuklir di Fukushima mengalami kebocoran akibat gempa dahsyat tersebut.

Apa komentar kontroversialnya?
“Baguslah, bencana itu terjadi di sana, di Tohoku. Jika terjadi dekat dengan wilayah ibu kota (Tokyo), akan menimbulkan kerusakan besar.”

Tentu saja ungkapan ini memicu amarah penduduk kawasan yang masih dalam tahap pemulihan, bahkan sekalipun bencana telah 6 tahun berlalu. Bagi penduduk setempat, tersirat dari kalimat sang menteri bahwa Tokyo lebih penting dari Tohoku, dan nyawa orang Tokyo ‘terkesan’ lebih berharga. Meski belum tentu demikian yang terlintas di pikiran sang menteri.

Akibat komentar tersebut, Perdana Menteri Shinzo Abe meminta maaf pada warga di Jepang bagian timur laut, dan menyebut pernyataan itu sangat tidak pantas serta melukai perasaan penduduk setempat. “Sebagai perdana menteri, saya ingin meminta maaf secara mendalam pada warga di area terdampak bencana.”

Tak lama kemudian, Imamura menyerahkan surat pengunduran diri dan mengaku dirinya sangat menyesali komentarnya yang menimbulkan polemik. “Saya memicu masalah besar untuk warga Tohoku dan melukai perasaan mereka. Saya minta maaf,” ucapnya sambil membungkukkan badan.

Sebenarnya, di atas kertas semua orang tahu jika bencana menimpa Tokyo jelas akan berefek lebih parah dari wilayah lain di Jepang. Tapi dalam komunikasi publik, seorang tokoh harus cerdas menghindari kalimat yang tidak pantas dituturkan sebab akan menyinggung serta berbuntut panjang dan lebih luas.

Mungkin di Jepang dan banyak negara beradab lain sudah terpupuk satu kesadaran. Jika pejabat telanjur keseleo lidah, pilihan utamanya cuma dua, langsung meminta maaf, dan jika tetap berpotensi memicu pertikaian berkepanjangan, sebaiknya mundur untuk menghindari dampak lebih besar. Jika sang pejabat tidak bersedia maka atasan sang pejabat terpaksa mengambil tindakan tegas. Karena bila dibiarkan akan menuai konflik yang tak berkesudahan.

Sayangnya hal ini tidak terjadi di tanah air tercinta. Ada pejabat yang terkilir lidah, bukannya bergegas memohon maaf, malah sibuk melegitimasi pernyataannya. Pejabat lain bersedia meminta maaf, tapi “memaksa” masyarakat yang tersinggung harus memaafkan, dilarang memperpanjang masalah. Jika tidak memaafkan dan bersikukuh mengawal ke jalur hukum, akan dituduh mempolitisasi atau konspirasi.

Tidak jarang kelompok pendukungnya secara buta membela. Lebih buruk lagi, atasannya justru turut mengayomi hingga luka di hati rakyat larut berkepanjangan. Jika “Batuk Napoleon” terus dibiarkan tanpa resep yang tepat, bukan mustahil virusnya menyebar dan menjadi penyakit berbahaya yang bercokol dalam waktu lama.

Satu hal yang menarik, konon kisah Batuk Napoleon, sekalipun banyak diungkap di internet, kabarnya hanya isapan jempol belaka. Kita mungkin tidak punya kisah Batuk Napoleon, namun faktanya, kerap mempraktikkan di dunia nyata, menggoreskan masalah dan duka teramat dalam di hati banyak pihak. Sesuatu yang justru lebih menyesakkan.

Seperti baru-baru ini saat hasil pilkada dikaitkan dengan kata autis, yang tidak berhubungan, oleh seorang komisaris kantor berita milik negara. Padahal bagi para orang tua yang memiliki ananda berkebutuhan khusus, ini sebuah perjuangan besar yang seyogyanya mendapatkan dukungan, tidak pantas dijadikan bahan canda atau alat politik.

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY