Red: Maman Sudiaman
Asma Nadia
REPUBLIKA.CO.ID, Sambil menggandeng anak, Fitrah Ilhami, seorang penulis asal Surabaya, membeli rujak langganan di dekat rumah. Jika biasanya sang penjual menanyakan berapa mau pedas atau tidak, berapa jumlah cabai, kini lontaran berbeda justru keluar dari mulutnya.
“Hati-hati jaga anak, Mas!”
“Kenapa, Pak?”
Penulis buku Nasib Orang Baik ini tidak mengerti, mengapa sang penjual mendadak peduli anak-anak dan berbicara masalah parenting.
“Kemarin ada yang mau nyulik anak. Untung ketangkap massa. Hampir saja dibakar hidup-hidup.”
Sebagai pedagang keliling, si Bapak cukup tahu keadaan sekitar. Ia sering mendapat informasi terkini dari penduduk, bahkan ikut menjadi saksi beberapa kejadian.
Sebelumnya Fitrah, ayah dari anak lelaki usia tiga tahun ini sudah menyaksikan video viral penculikan anak. Mulai dari wanita yang beraksi di masjid, penculikan di pasar, hingga pelaku yang nekat merebut anak langsung dari tangan ibunya, dibantu rekan yang menutup jalan ketika sang ibu mengejar.
Namun, penulis muda ini tidak menyadari bahwa ternyata bahaya tersebut sudah sedemikian dekat, bahkan di sekitar tempat tinggal. Setidaknya sudah tiga kali terjadi. Akibatnya, ia tidak berani melepas anak berkeliaran sendirian di lingkungan seperti dulu. Mata selalu mengawasi gerak-gerik anak ke manapun si kecil berlari. Sungguh biadab aksi penculik, bahkan masjid yang suci pun menjadi sasaran lokasi.
Fitrah mungkin mewakili banyak pasangan muda yang kini benar-benar khawatir akan keselamatan buah hati. Ada tiga alasan utama mengapa anak-anak menjadi sasaran empuk kejahatan.
Pertama, anak-anak menjadi komoditas, human trafficking, dijual untuk diadopsi, beberapa, bahkan sampai luar negeri. Kedua, menjadi incaran jual beli organ. Korban penculikan organ tubuhnya dijual per item. Celakanya, alasan kedua ini lebih memudahkan bagi penjahat. Harga organ yang dijual satu per satu, jika dijumlah mungkin lebih mahal dari harga sebagai manusia utuh.
Ketiga, pedofilia. Anak menjadi sasaran predator untuk memuaskan hasrat seksual orang dewasa. Sekalipun alasan ketiga terlihat kurang berbahaya dari pertama dan kedua, sebenarnya justru lebih sering memakan korban.
Penculikan dengan mudah terdeteksi, terlebih bila dilakukan oleh pelaku yang mencurigakan. Tetapi, kejahatan seksual terhadap anak selain sulit dideteksi. Biasanya terlambat diantisipasi karena kerap dilakukan oleh orang yang dikenal.
Kasus sekolah internasional yang marak beberapa tahun lalu bisa menjadi contoh. Guru yang seharusnya mengayomi siswa justru menjadi pelaku pedofilia dan memakan korban muridnya.
Sebenarnya kasus pedofilia bukan gejala baru. Seorang teman wanita, yang memiki orang tua dokter, kini berusia 40 tahun, bercerita ketika kecil sering digerayangi sopirnya. Sampai beranjak dewasa dan menikah, ayah dan ibunya tidak mengetahui sejarah ini. Untung saja ia berhasil melewati trauma meski tanpa dukungan keluarga.
Teman lain, pria, 46 tahun. Ketika berusia 7 tahunan, tante yang merupakan adik kandung ibunya sering mengajak masuk kamar berduaan. Lalu meminta dirinya yang masih kecil untuk menyentuh bagian sensitif wanita. Saat itu ia tidak mengerti alasannya.
Hanya diiming-imingi hadiah dan bahwa dia tidak boleh bilang siapa-siapa. Menginjak usia remaja baru dia menyadari keanehan tindakan sang tante. Setiap arisan atau temu keluarga ia merasa trauma jika bertemu adik ibunya tersebut.
Sedikit contoh kasus di atas menunjukkan sejak puluhan tahun lalu sudah ada aksi pedofilia dari kalangan keluarga atau orang dekat di tanah air. Hanya, baru marak dan menyentakkan sekarang seiring era media sosial.
Bisa dibilang berbagai pihak terlambat menyadari, setelah jatuh begitu banyak korban. Selama ini Indonesia termasuk wilayah paling mudah bagi pedofilia mencari korban. Di negara maju sudah sejak lama diterapkan “don’t talk to stranger”, sementara di Indonesia lebih sering ditekankan agar setiap anak hormat pada yang lebih tua, sayang, sering disalahgunakan.
Barangkali dulu sasaran pedofil paling empuk adalah anak-anak jalanan, kini predator juga mulai mencari korban melalui grup online di Facebook. Untung saja aparat bertindak cepat mulai menertibkan akun pedofilia di media sosial.
Namun, melindungi anak dari kejahatan tidak bisa hanya dibebankan pada aparat, tetapi-dan yang terpenting-juga tanggung jawab keluarga. Sungguh miris ketika di masa kecil, kita bernyanyi Balonku, Pelangi-Pelangi, Cicak-Cicak di Dinding, kini anak-anak menghafal lagu berbeda, yang diajarkan untuk membekali mereka agar tidak menjadi korban pedofilia, “Ini boleh dilihat, ini tidak boleh dilihat, hanya aku boleh melihat, hanya aku boleh menyentuh…”
Lagu itu menjadi gambaran betapa rentan ananda belia kita terkena ancaman kejahatan. Semoga Allah melindungi anak-anak di Tanah Air. Mereka generasi emas yang tak seharusnya rusak tersentuh tangan-tangan biadab.
*******
Republika.co.id