Garut News ( Senin, 27/01 – 2014 ).
Aturan mengenai lembaga survei dikeluarkan KPU menuai kontroversi.
Komisi seharusnya tak mengurusi masalah sampel, metodologi, dan independensi lembaga survei.
Hanya, urusan penting seperti cara penayangan hasil hitung cepat memang masih termasuk wewenang KPU.
KPU memuat semua aturan itu dalam Peraturan KPU Nomor 23/2013 tentang Partisipasi Masyarakat.
Intinya, semua lembaga survei yang melakukan sigi politik dan hitung cepat hasil pemilu wajib mendaftar ke KPU.
Lembaga survei juga diminta menyebutkan metodologi digunakan, dan membuat pernyataan kegiatan mereka bebas kepentingan peserta pemilu.
Meski berpengaruh besar terhadap hasil pemilu, urusan itu sebetulnya masuk wilayah akreditasi.
Para pelaku survei seharusnya mengurus sendiri masalah ini.
Belum adanya akreditasi lembaga survei membuat publik sulit menentukan lembaga survei kredibel, dan independen.
Bukan rahasia pula terdapat lembaga survei abal-abal sengaja dibuat untuk menguntungkan salah satu kandidat presiden atawa partai politik.
Lembaga survei sebenarnya bisa sukarela mengumumkan sumber pendanaan secara terbuka.
Sampel dan metodologinya pun mesti dipaparkan detail, dan jelas.
Bahkan mereka perlu menyatakan, kegiatannya tak mendukung suatu partai politik atawa calon presiden.
Cara ini memudahkan publik menilai independensinya.
Hanya, aturan lain dimuat pada Peraturan KPU itu masih dalam lingkup penyelenggaraan Pemilu.
Misalnya, mengenai larangan rilis hasil survei politik pada masa tenang.
Begitu pula quick count hasil pemilu mesti diumumkan paling cepat dua jam setelah pemungutan suara.
Aturan ini memang dimuat Undang-Undang Nomor 8/2012 tentang Pemilu.
Bahkan penayangan hasil hitung cepat wajib memuat pernyataan, hitungan tersebut bukan dikeluarkan resmi oleh KPU.
Aturan itu, masuk akal lantaran hasil hitung cepat berpotensi membingungkan masyarakat.
Berbahaya pula apabila lembaga survei mengeluarkan hasil quick count pada saat proses pemungutan suara berjalan.
Hasil hitung cepat itu bisa memengaruhi pemilih belum mencoblos.
Lantaran, orang cenderung memilih partai politik atawa kandidat berpotensi menang.
Pelanggaran terhadap ketentuan itu juga terancam sanksi pidana.
Mengumumkan hasil survei pada masa tenang, misalnya, diancam hukuman satu tahun penjara.
Adapun melanggar ketentuan cara mengumumkan hasil hitung cepat bisa dihukum maksimal satu setengah tahun penjara.
Lembaga survei bisa saja mengelak dari kewajiban mendaftarkan diri, dan melaporkan metodologinya ke KPU.
Apalagi aturan ini tak ada sanksinya.
Tetapi mereka tak bisa menghindar dari ketentuan mengenai cara merilis hasil survei, dan hitung cepat memang diatur dalam undang-undang.
***** Opini/Tempo.co