Garut News ( Sabtu, 21/12 ).
Vonis banding bagi Irjen Djoko Susilo amat melegakan.
Hukuman lebih berat dijatuhkan majelis hakim diketuai Roki Panjaitan itu, menunjukkan terjadi “Artidjo effect” di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Pengadilan Tipikor Jakarta sebelumnya menghukum Djoko sepuluh tahun penjara lantaran terbukti korupsi pada kasus pengadaan simulator.
Di tingkat banding, vonis ini diperberat menjadi 18 tahun.
Ini persis saat Angelina Sondakh atawa Angie mengajukan kasasi ke MA.
Di tingkat MA, majelis dipimpin Hakim Agung “Artidjo Alkostar” menambah masa hukuman Angie dari empat tahun enam bulan menjadi 12 tahun.
Pada kasus Djoko, Roki Panjaitan dan anggota majelis juga patut dipuji sebab mengabulkan tuntutan jaksa KPK sebelumnya ditolak Pengadilan Tipikor.
Jaksa KPK menginginkan Djoko membayar kerugian negara sebesar Rp32 miliar, selain menuntut agar hak politik perwira polisi itu dicabut.
Pengadilan menolak tuntutan ini.
Vonis itu jelas terlalu ringan, tak seimbang uang negara dijarahnya.
Maka, tatkala hakim Roki menghukum Djoko kudu membayar Rp32 miliar tunai dengan ancaman semua hartanya disita jika tak dibayarkan, rasa keadilan pun terpenuhi.
Inilah hukuman pantas bagi koruptor: mendekam dalam masa panjang di penjara, dan dimiskinkan.
Terlalu sering para terpidana kasus korupsi dihukum ringan, sehingga mereka melenggang ke luar penjara dalam waktu singkat, dan tetap kaya-raya.
Pencabutan hak politik Djoko pun layak disebut terobosan.
Belum pernah terdapat koruptor dicabut hak politiknya.
Pengadilan Tipikor beralasan, penahanan saja cukup membuat bersangkutan kehilangan hak politik.
Juga banyak berpendapat melucuti hak politik berlebihan, dan bukan wewenang pengadilan.
Alasannya, hak politik hak asasi paling dasar, tak boleh diganggu.
Pendapat ini melupakan, banyak bekas koruptor setelah bebas bisa kembali menjalankan peran politiknya seperti tak pernah bersalah.
Bahkan ada kemudian diangkat menjadi pejabat di pemerintahan.
Ini tak terjadi jika hak politik mereka dicabut.
Kita berharap hukuman berat ala “Artidjo effect” ini bukan fenomena sementara.
Jika koruptor terbukti bersalah, seharusnya mereka dihukum berat.
Kejahatan mereka, kejahatan luar biasa.
Korupsi tak hanya menggerogoti uang negara, tetapi juga bisa menghancurkan sekian generasi.
Betapa banyak gedung sekolah, rumah sakit, tak bisa dibangun dengan layak lantaran anggarannya dikorupsi.
Memberikan vonis seberat-beratnya bagi koruptor, jika perlu hukuman seumur hidup, kudu menjadi target hakim.
Pencabutan hak politik koruptor juga bisa menjadi yurisprudensi.
Tambahan hukuman lebih berat itu, juga semestinya membuat malu Pengadilan Tipikor lantaran dua kali vonis mereka, dikoreksi pengadilan lebih tinggi.
***** Opini Tempo.co