Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syukri Wahid *)
Alhamdulillah semuanya adalah ketetapan dari Allah SWT. Lewat pertarungan pilkada DKI yang begitu tegang akhirnya pasangan No 3 Anies-Sandy Insya Allah dipastikan menjadi gubernur baru Jakarta untuk 5 tahun ke depan.
Saya justru tertarik melihat apa arti di balik kemenangan ini, mencoba mengambil pelajaran berharga pada pilkada ini bukan semata-mata dari tinjauan politik ansich. Kemenangan ini mengirim pesan begitu kuat kepada umat Islam secara umum dan para elit Islam politik di negeri ini.
Beberapa catatan penting yang saya bisa tangkap sebagai berikut:
1.Jangan tinggalkan suara umat.
Sudah jamak bagi kita bahwa seringkali Islam politik yang digerakkan partai-partai Islam atau berbasis agama sering dibenturkan dengan kepentingan pragmatisme sesaat.
Para elit partai lebih memilih melakukan deal kepentingan singkat daripada memilih menangkap suara dukungan arus bawah umat.
Kita bisa melihat bagaimana kegalauan kubu PPP dan PKB dalam putaran kedua. Kendati banyak petinggi partai tersebut turut aksi dalam gelombang aksi bela Islam beberapa jilid bersama konstituennya, namun umat “terluka” atas keputusan petingginya yang justru mengalihkan dukungan ke kandidat yang “ditolak” oleh umat itu sendiri.
Mungkin ini pelajaran penting bahwa, seringkali hanya kepentingan politik sesat kita justru tinggalkan basis suara pemilih kita sendiri. Jangan salahkan akhirnya jika umat kehilangan selera dan referensi untuk mempercayai Islam politik.
Kita boleh berkuasa di atas mandat mereka, namun jika mereka sudah sakit hati cara mereka menghukum adalah dengan cara tidak memilih mereka.
2. Umat Islam adalah big market.
Demokrasi memaksa meraup suara terbanyak, karena itu pilihan untuk pasar suara tak terelakkan. Indonesia dan umat Islam adalah keniscayaan. Memisahkannya adalah anomali sejarah, kendati kita sadar bahwa kaum muslimin baru menjadi pasar saja belum menjadi pemain utama dalam mengatur pasar politik Indonesia, belum menjadi subjek utama ,tapi hanya menjadi objek.
Itulah sebabnya dari berbagai paslon atau partai apapun pasti tak ketinggalan menggarap pasar yang sangat menggoda ini, perang simbol dan teknis mendekati umat menjadi lumrah dalam politik.
Karena itu pelajaran Pilkada DKI ini harusnya jadi pelajaran penting bahwa saatnya mereka bangkit untuk tidak menjadi obyek pasar saja, tapi kalau perlu menjadi subyek pertama dalam pengarusutamaan politik di negeri ini.
Mungkin bagi tim Ahok dengan bergabungnya sejumlah elemen umat Islam lewat simbol PPP, PKB atau beberpa tokoh elit NU dianggap bisa sederhanakan bahwa pasar umat Islam akan diambil, kenyataannya?
3. Kekuatan baru era milenial.
Tak dipungkiri demokrasi kita telah memasuki di era yang tak kita temukan di periode-periode yang lalu, yaitu era milenial ditandai dengan jaringan informasi yang begjtu masif dan mudah diakses secara langsung kepada masing-masing person.
Mungkin suatu saat memasang iklan baliho di pinggir jalan disamping biaya besar dan harus dijaga terus akan ditinggalkan, sedangkan dengan sekali postingan di akun media sosial apapun jenisnya, belum lagi lewat broadcast via telegram, WA dan lain sebagainya begitu berdampak masif luar biasa.
Perang di dunia maya jauh lebih seru dan sangat dinamis, tak seperti mungkin dulu pilkada pertama kali di gelar 2005. Kini kita sadar bahwa pilar demokrasi bisa bertambah yaitu media sosial.
Salah satu dampak positifnya adalah efektifnya metode kampanye dan bahkan untuk memblok gerakan lawan, kita lihat betapa blundernya tim Ahok menggelar serangan sembako di hari tenang, tapi peran media secara positif justru mempersepsikan tindakan mereka negatif, mungkin mereka lupa sekarang era digital, ditangan setiap orang ada hp yang bisa bisa langsung dia rekam atau live lewat akun medsosnya dan merangkap sebagai wartawan dan peliput acara dan orang bisa lihat langsung di media sosial.
4. Barang itu penting.
Secara survey masyarakat jakarta cukup puas dengan kepemimpinan Ahok, tapi apakah akan memilih kembali tenyata di bawah 50 persen akan memilihnya kembali.
Apa artinya tenyata kagum dengan memilih adalah dua hal yang berbeda. Alasan yang paling utama adalah gaya berkomunikasi Ahok yang jauh dari unsur budaya ketimuran secara umumnya. Bicara yang sopan santun, yang lebih sejuk dan merangkul tidak bisa dipungkiri relatif tak dimiliki Ahok.
Jika barang sudah jelek mau dibungkus apapun akan ketahuan jeleknya pada akhirnya, pencitraan hanyalah menjadi beban untuk menutupi wajah asli yang sebenarnya sadar kalau barang tersebut ada cacatnya.
5. Bersatulah.
Ini adalah inti dari kesemuanya, ternyata jika umat itu kompak dan solid maka mereka akan memetik buahnya sendiri. Jika suara yang didengungkan umat juga disambut oleh para elit politik Islam maka itu bertemunya suara bawah dengan suara atas.
Jangan lagi mau dipecah belah, saatnya elit politik Islam tidak memiliki penyakit rendah diri dan dia harus melihat peristiwa gejolak umat ini seakan-akan menegur para elitis, jika kalian tidak becus urus kami maka biarkanlah kami yang bergerak.
Mari kita bercermin, seringkali para elit dihantui oleh penyakit ketakutan yang dia ciptakan sendiri tentang ketidakpastian kedepan, yang akhirnya menyeret mereka untuk memilih jalan pragmatisme.
Sehingga yang terjadi kekuatan politik Islam di negeri ini seringkali dibenturkan dan mau diadu domba dengan sesama elemen umat oleh kepentingan jahat yang ingin menguasai negeri ini.
Lihatlah bagaimana Pilkada DKI membuat umat mengambil perannya sendiri, kekuatan yang selama ini di marginalkan tiba-tiba tampil kedepan menjadi arus utama perjuangan politik untuk selamatkan Jakarta dan Indonesia sekaligus.
Ya Allah terimalah amal kami.
*) Pegiat Sosial Politik
*********
Republika.co.id