SELASA, 18 JULI 2017 | 01:37 WIB
Ignatius Haryanto
Anggota Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran
Fotografer : John Doddy Hidayat
Undang-Undang Penyiaran keluaran 2002 sudah sejak 2010 hendak direvisi. Hingga hari ini, revisinya tidak pernah maju-maju. Ada draf yang dikeluarkan oleh pemerintah dan belakangan muncul ide bahwa rancangan perubahan datang dari Dewan Perwakilan Rakyat, tapi hingga hari ini nasib revisinya semakin tidak jelas.
Pada 19 Juni 2017, Dewan membuat tindakan yang lebih aneh lagi karena draf milik Komisi I DPR secara substansial banyak mengalami perubahan. Dua perkara besar yang diubah substansinya oleh Badan Legislasi, yang seharusnya bertugas mengharmoniskan isi rancangan, adalah masalah penyiaran digital dan iklan rokok.
Revisi kali ini seakan berpacu dengan waktu saat di seluruh dunia sudah menuju ambang analog switch off. Di sini, perkara tersebut tidak beres-beres, baik itu menyangkut perundangannya, perencanaan pergantian teknologi, maupun ketidakpastian pemirsa tentang apakah pesawat televisi mereka sekarang siap masuk ke era digital.
Setiap rancangan undang-undang adalah produk pertarungan politik yang melibatkan pemerintah, Dewan, dan para pemangku kepentingan lainnya: masyarakat, lembaga penyiaran (publik, swasta, komunitas), dan kepentingan lain, termasuk perusahaan rokok. Semua kekuatan inilah yang tengah bertarung untuk memasukkan kepentingannya dalam rancangan itu.
Lembaga penyiaran swasta menginginkan agar pengaturan masalah digitalisasi diserahkan pada mekanisme alamiah (baca: mekanisme pasar) dan berharap grup-grup media besar penyiaran punya hak untuk mengelola kanal-kanal digital. Dalam teknologi digital, satu frekuensi bisa dipecah menjadi empat frekuensi lain, maka ada peluang stasiun televisi lebih banyak lagi jumlahnya.
Dalam salah satu drafnya, lembaga penyiaran swasta mengusulkan iklan mengisi 30 persen isi siaran. Saat ini, iklan mencapai 20 persen isi siaran. Kita tak bisa membayangkan betapa melimpahnya iklan nanti jika usul ini diterima. Pada prinsipnya, lembaga penyiaran swasta juga menginginkan iklan rokok masih ada. Padahal rokok, menurut Undang-Undang Kesehatan, adalah zat adiktif sehingga iklannya tidak diperbolehkan.
Rancangan yang dikeluarkan Badan Legislasi pada pertengahan Juni lalu juga memunculkan ide pembentukan Organisasi Lembaga Penyiaran, yang disebut “satu-satunya wadah yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini”.
Ide ini aneh karena Undang-Undang Penyiaran tahun 2002 sudah menyebut Komisi Penyiaran Indonesia sebagai “lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran”. Jadi, untuk apa muncul lembaga lain yang kelihatannya diproyeksikan untuk melindungi kepentingan para pemodal saja?
Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran (KNRP) berpendapat bahwa iklan rokok harus dilarang dan penyelenggaraan siaran digital harus dipegang oleh lembaga penyiaran publik. Alasannya, frekuensi adalah milik publik dan dikelola oleh negara sehingga representasinya ada pada lembaga penyiaran publik. Frekuensi bukanlah komoditas yang diserahkan pada mekanisme pasar semata.
KNRP, yang beranggotakan 160 akademisi dan 20 organisasi masyarakat sipil, juga berpendapat bahwa penyiaran harus dikembalikan pada fungsi melayani kepentingan publik yang, antara lain, ditunjukkan dengan pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran karena tidak sesuai dengan prinsip keragaman isi dan keragaman kepemilikan.
Selain itu, penyelenggaraan siaran berjaringan adalah prinsip yang juga ditekankan oleh KNRP karena lewat siaran berjaringan inilah pemirsa di Sulawesi dan Papua tidak harus mendengarkan berita tentang mudik Lebaran di Jawa.
Proses revisi Undang-Undang Penyiaran ini perlu diamati secara cermat oleh berbagai pihak untuk memastikan bahwa revisi tersebut menuju perbaikan lembaga penyiaran kita.
Dia harus menjadikan lembaga penyiaran sebagai industri yang sehat, memberikan isi yang baik kepada masyarakat, serta bebas dari kepentingan politik dan ekonomi pemilik media yang serakah dan partai politik yang latah ingin juga menguasai lembaga-lembaga penyiaran.
********
Kolom Tempo.co