Arah Politik Partai Pendukung Jokowi

Arah Politik Partai Pendukung Jokowi

872
0
SHARE
Ilustrasi. Saksikan Strategi Bermain Catur di Pinggiran Jalan.

SENIN, 31 JULI 2017 | 01:21 WIB

Moch. Nurhasim
Peneliti P2P-LIPI Jakarta

Fotografer : John Doddy Hidayat

Ilustrasi. Saksikan Strategi Bermain Catur di Pinggiran Jalan.
Ilustrasi. Saksikan Strategi Bermain Catur di Pinggiran Jalan.

Keutuhan koalisi dalam sebuah pemerintahan presidensial selalu menjadi isu yang hangat. Hal itulah yang membuat alotnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum di DPR, meski akhirnya rampung juga. Mengulang pola pemerintahan sebelumnya, koalisi partai pendukung Jokowi pun tidak utuh. PAN tetap memilih berbeda pandangan dengan pemerintah, meski berada dalam koalisi.

Watak dasar kombinasi multipartai-presidensial memang mengandung kekuatan dan kelemahan. Sistem presidensial menjamin stabilitas eksekutif karena masa jabatan presiden tetap, legitimasi dan mandat presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, serta pemisahan kekuasaan yang relatif tegas di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan-terutama eksekutif-legislatif (Haris, 2015).

Namun kelemahan yang mendasar adalah, antara lain, ancaman jalan buntu dalam pengambilan suatu kebijakan karena pembelahan pemerintahan terjadi ketika pemerintah dan parlemen dikuasi oleh partai yang berbeda.

Dibandingkan dengan kekuatan koalisi pemerintahan sebelumnya, koalisi yang dibangun Presiden Jokowi relatif lebih solid. Di atas kertas, Jokowi-yang diusung oleh PDIP-didukung oleh PKB, NasDem, Hanura, PPP, Golkar, dan PAN.

Masalahnya, koalisi partai tidak menjamin sikap anggota parlemen mereka di DPR. Dalam praktik politik di parlemen, basis kepentingan partai terletak pada sikap politik fraksi dan individu anggota parlemen. Basis koalisi presidensial-multipartai berbeda dengan mekanisme politik di parlemen yang menganut prinsip checks and balances.

Anggota DPR mengemban amanah untuk memberikan keseimbangan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara, sedangkan partai ditagih loyalitasnya kepada presiden yang didukungnya. Prinsip checks and balances ini dapat menciptakan polarisasi sikap yang berbeda antara pemerintah dan partai koalisi serta anggota partai di DPR.

Perbedaan itu pulalah yang menyebabkan format koalisi presidensial-multipartai terus dibayang-bayangi ketidakstabilan dan kerapuhan. Biasanya tensi politik internal koalisi berhubungan erat dengan momentum dan peristiwa politik yang akan berlangsung.

Dalam praktik politik di Indonesia terdapat kecenderungan kuat bahwa koalisi hanya terbatas pada dukungan terhadap presiden dan tidak perlu untuk urusan politik lainnya. Akibatnya, partai-partai pendukung pemerintah bisa saja berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah. Perbedaan itu diilustrasikan dari sikap PAN, PPP, dan PKB yang justru mendukung calon yang tidak sama dengan PDIP, Golkar, NasDem, dan Hanura dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Demikian pula dengan kasus-kasus koalisi dalam pemilihan kepala daerah serentak 2017. Dari sisi ini, koalisi pemerintahan Jokowi-JK hanya berlangsung “terbatas” dan tidak meluas ke urusan-urusan politik lainnya di luar urusan-urusan politik yang bersinggungan dengan kebijakan politik Presiden.

Kecenderungan sikap dan posisi politik koalisi saat ini secara tidak langsung akan mempengaruhi dinamika dan kontestasi politik menjelang Pemilihan Umum 2019. Arah baru kompetisi partai koalisi Jokowi akan dicerminkan oleh sejumlah situasi berikut ini.

Pertama, sejauh mana partai-partai koalisi merespons peluang Jokowi untuk dicalonkan kembali. Apa keuntungan serta kerugian elektoral dan kekuasaan yang akan mereka terima? Siapa yang sesungguhnya akan memperoleh keuntungan elektoral dari majunya kembali Jokowi sebagai calon presiden pada 2019?

Perhitungan itu akan menjadi penentu sikap politik partai. Sinyal seperti itu telah disampaikan oleh PKB, yang menilai belum tentu pada awal pencalonan presiden-wakil presiden yang akan dimulai pada Maret atau April 2018 mereka tetap berada di gerbong koalisi.

Kedua, untuk mencapai batas minimal syarat pencalonan, yakni 20 persen dan/atau 25 persen kursi di DPR, PDIP sebagai pengusung Jokowi membutuhkan minimal satu atau dua partai pendukung. Jika dukungan Golkar tidak dicabut, posisi Jokowi relatif sudah aman. Situasi ini adalah dampak dari adanya ambang batas calon presiden 20 persen suara nasional dan 25 persen kursi DPR.

Ketiga, siapa yang akan menjadi pendamping Jokowi? Suasana politik mungkin akan relatif riuh saat penetapan calon wakil presiden. Bisa saja hal ini menimbulkan gesekan, tapi juga dapat mendorong terjadinya perpecahan politik apabila calon pendamping itu tidak diterima oleh partai yang berhimpun.

Terakhir, hubungan antarpartai koalisi pendukung Jokowi juga akan ditentukan oleh faktor adakah judicial review atas syarat minimal pencalonan presiden-wakil presiden 2019. Apabila hasil judicial review di Mahkamah Konstitusi mencabut syarat ambang batas calon presiden, tensi politik dalam tubuh partai koalisi sudah dapat dipastikan akan “buyar”.

Koalisi partai pendukung Jokowi saat ini belum tentu akan menjadi bagian dari koalisi pemerintahan berikutnya. Besar kemungkinan mereka akan berkompetisi untuk mencari tiket masing-masing.

**********

Kolom Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY