Kamis , 07 September 2017, 00:01 WIB
Red: Fernan RahadiREPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fajri Matahati Muhammadin*
Pembantaian terhadap etnis Rohingya oleh pasukan pemerintah Myanmar adalah duka mendalam yang tak kunjung selesai sejak lama. Berbagai unsur di masyarakat maupun internasional berusaha memutar otak untuk mencari penyelesaiannya.
Walau etnis Rohingya ini beragama Islam, ternyata simpati datang dari segala penjuru dan lintas agama. Khususnya, umat Islam meneriakkan solidaritas keislaman atau bahkan semangat jihad. Akan tetapi, sebagian lain mengatakan bahwa persoalan Rohingya ini bukanlah konflik agama melainkan soal ekonomi dan politik.
Narasi “bukan konflik agama” sering digunakan untuk menyanggah pihak-pihak yang membawa isu agama dalam persoalan Rohingya ini. Padahal, pendekatan yang lebih kritis akan mendapati kesimpulan yang berbeda.
Apabila ditemukan motif-motif ekonomi dan politik pada suatu konflik, dan tidak ditemukan motif “karena agama mereka/kami adalah X atau Y”, maka bisa jadi betul konflik tersebut memang bukanlah konflik agama. Barangkali perspektif ini mensyaratkan motif yang tegas menyatakan bahwa alasan menyerang atau diserang adalah agama, sedangkan tidak ditemukan alasan keduniawian (ekonomi politik dan lainnya) padanya.
Tampaknya cara pandang ini berlandaskan sekulerisme yang memisahkan mutlak antara hubungan vertikal (personal dengan sembahan) dan horizontal (makhluk dengan makhluk).
Dalam pola pikir ini, barangkali memang sulit sekali mengkategorikan apapun sebagai konflik agama. Kesulitan dakwah Nabi Muhammad SAW pun mungkin dianggap tidak agamis mengingat sebagian motif kafir Quraish menolak Islam adalah ekonomis dan politis juga.
Demikian pula perang Badar, ketika umat Islam ingin merebut kembali harta para Muhajir yang dirampas oleh Quraish di Mekkah pasca-hijrah.
Barangkali memang ini berasal dari cara pandang yang sarat sekulerisme, yang mendesakralisasi agama beserta simbol-simbolnya. Motivasi ekonomi ya ekonomi saja, demikian juga politis. Dengan pola pikir yang sama, misalnya, pada hari ini dikatakan bahwa konflik Israel Palestina bukanlah konflik agama. Bagaimana tidak?
Tentu ekspansi Israel sangat bermuatan ekonomi politik, karena membutuhkan perluasan lahan untuk pemukiman dan juga sumber daya. Di sisi lain, Palestina hanya ingin membela tanah airnya saja. Seorang profesor dari sebuah universitas terkemuka di Indonesia, untuk membuktikan poin ini, sampai mengatakan bahwa Palestina bukan merupakan negara Islam, karena di sana ada non-Muslim juga.
Entah dari mana sang profesor mendapat ide bahwa adanya non-Muslim merupakan bukti bahwa sebuah negara bukanlah negara Islam. Di tambah lagi, ternyata Pasal 4 ayat 1 dan 2 konstitusi Palestina tahun 2003 menyatakan bahwa Palestina adalah negara Islam.
Akan tetapi, pola pikir Islam memiliki perspektif yang sangat berbeda. Terintegrasinya hablum min Allah (hubungan ‘vertikal’) dan hablum minan naas (hubungan ‘horizontal’) membawakan banyak hal yang berbeda secara fundamental.
Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dulu, misalnya, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari memfatwakan jihad fi sabilillah melawan penjajah. Beliau berhujjah bahwa melindungi negara adalah bagian dari melindungi iman. Sedangkan melindungi iman (hifzu al-din) adalah tujuan syariat Islam (maqashid Syariah) yang paling pertama.
Dalam Islam, mempertahankan diri dari serangan adalah jihad fi sabilillah. Bahkan, ketika datang serangan fisik dari musuh seperti halnya di Palestina dan Rohingya, maka jihad fi sabilillah justru hukumnya merupakan fardhu ‘ain (wajib) bagi umat Islam yang berada di sana.
Dalam semua rujukan tentang jihad bil qital (perang), sarat pembahasan kepentingan politik yang dalam terminologi Islam disebut siyasah. Siyasah ini integral dalam Syariat Islam, sehingga agak janggal jika dipahami terpisah.
Tentunya ini hanya melihat perspektif Islam saja. Perspektif Buddha sebetulnya mungkin perlu diamati. Sebab, telah diketahui adalah bahwa salah satu elemen besar penggerak kebencian dan aksi kekerasan terhadap Muslim Rohingya adalah sekelompok biksu beragama Buddha yang dipimpin oleh Biksu Wirathu. Secara tegas, pemuka-pemuka agama Buddha ini menyebut Muslim sebagai target.
Perlu dicatat bahwa Muslim beretnis selain Rohingya pun mengalami persekusi di Myanmar, walaupun tidak semuanya mengalami pembantaian sebagaimana Rohingya. Akan tetapi, tapi berduyun-duyun pemeluk agama Buddha di Indonesia menyatakan bahwa apa yang disuarakan Wirathu adalah bertentangan dengan ajaran Buddha.
Barangkali penulis tidak berada dalam posisi yang tepat untuk mengevaluasi ajaran Buddha, tapi dibutuhkan penelusuran lebih lanjut terkait masalah ini.
Setidaknya, dari perspektif Islam, jelas setidaknya ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, jelas bahwa ada umat Islam yang -dalam jumlah besar- menjadi korban penindasan bahkan pembantaian. Kedua, pihak yang membantai secara tegas menyebut bahwa yang menjadi target adalah Muslim. Ini adalah terlepas dari apakah ada motif lain atau tidak.
Karena itulah, dalam perspektif Islam, tidaklah aneh bila narasi keislaman berkembang hingga ke wilayah-wilayah lain. Pada waktu sebagian umat Islam sedang menghadapi jihad fi sabilillah di suatu wilayah, maka umat Islam di wilayah lain harus membantu. Tentunya bantuan ini adalah sesuai kemaslahatan dan tidak boleh membuat keadaan lebih runyam. Misalnya, baiknya mengirimkan donasi dan bantuan kemanusiaan atau menampung pengungsi atau maju berdiplomasi sebagaimana upaya luar biasa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, umat Islam bagaikan satu tubuh. Bila satu bagian terasa sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya. Karena itu, sangatlah wajar dan masuk akal apabila umat Islam meneriakkan solidaritas bernuansa Islami sebagai respons terhadap masalah Rohingya.
Sebagai catatan, tentu ini bukan berarti musibah kepada non-Muslim tidak perlu dibantu. Hanya saja, sangat manusiawi jika lebih bereaksi kepada sakitnya bagian tubuh sendiri dibandingkan bagian tubuh orang lain. Tentu kepekaan sosial antar-umat merupakan pekerjaan rumah bagi sebagian umat Islam.
Dikatakan ‘sebagian’, karena bukan sedikit umat Islam yang sangat cepat turun membantu non-Muslim yang tertimpa bencana, misalnya pada kebakaran apartemen Grenfell di London (Inggris) dan pasca badai Harvey di Houston (Amerika Serikat) baru-baru ini.
Dengan demikian, sebetulnya kedua pola pikir ini tidaklah perlu dipertentangkan. Barangkali tidak salah pandangan bahwa masalah Rohingya bukan konflik agama, sepanjang dipahami bahwa term ‘agama’ hanya dimaknai sebagai hubungan vertikal antara personal dengan sembahannya saja. Sebuah sistem kepercayaan yang mengintegrasikan hubungan vertikal dan horizontal tampaknya asing dan kurang pas dalam cara pandang ini.
Di sisi lain, khususnya bagi umat Islam, tidak salah pula jika menyuarakan solidaritas berbasis Islam atau mengatakan bahwa Rohingya yang melawan adalah melaksanakan jihad. ‘Agama’ dalam makna ‘hubungan vertikal’ tentu merupakan unsur penting dalam Islam, tapi bukan satu-satunya unsur. Adanya nuansa ekonomi dan politik tidaklah serta merta menghilangkan karakter keislaman pada sebuah perkara.
Betapa tidak membingungkan, istilah yang sama dengan dua makna yang berbeda dalam konteks bahasan yang tidak jauh berbeda. Terkadang masalah ini timbul akibat penerjemahan. Kata ‘religion’, dalam Oxford Dictionary, hanya dimaknai hubungan vertikal saja: “The belief in and worship of a superhuman controlling power, especially a personal God or gods”.
Jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, didapat ‘agama’ yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan mencakup hubungan vertikal dan horizontal: “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya”.
Ideologi Indonesia pun mengakui adanya peran penting agama dalam hubungan horizontal, hingga tertuang dalam sistem hukum beserta peraturan perundang-undangan.
Kalau diterjemahkan lagi ke Bahasa Arab akan menarik. ‘Ad-Diin’ dengan akar ‘dal-ya-nun’ oleh Arabic-English Lexicon (Edward W. Lane) memiliki turunan makna antara lain: ‘religion’, ‘a way of conduct’ (tata acara berperilaku), bahkan juga ‘a particular law/statute’ (sebuah hukum/undang-undang).
Perlu dicatat bahwa dalam Islam, yang dianut oleh mayoritas di Indonesia, Bahasa Arab memiliki kedudukan yang sangat penting.
Dikatakan bahwa sebuah Bahasa adalah produk sebuah peradaban. Sedangkan suatu peradaban adalah integral Bersama segala aspeknya termasuk tentunya cara pandang dan pemikirannya. Dengan demikian, tentu tidak mengejutkan ketika kedua peradaban ini menghasilkan pemikiran berbeda dalam memperspektifkan karakter dari masalah Rohingya.
Akan tetapi, setidaknya dalam tataran praktis perdebatan ini belum kelihatan dampaknya dan tampaknya tidak saling mempengaruhi. Berbeda dengan perdebatan-perdebatan lain antara dua peradaban ini, tampaknya krisis Rohingya ini menabrak batas-batas antar agama dan antar ideologi.
Masing-masing agama dan ideologi memiliki dorongannya masing-masing hingga sama-sama terpanggil untuk membantu menyelesaikan masalah Rohingya sesuai kapasitas masing-masing –kecuali, mungkin, ideologi apapun di benak Pasukan Pemerintah Myanmar. Barangkali inilah salah satu poin ‘universal values’ yang disuarakan banyak pihak, antara lain Muhammad Natsir.
Kedua kalangan ini sudah sering berdebat keras dalam beraneka tema dalam berbagai kesempatan, salah satu yang paling keras adalah dalam tema-tema terkait persepsi terhadap konsep Hak Asasi Manusia.
Barangkali perdebatan kali ini hanyalah salah satu ekses dari perdebatan besar antara dua peradaban ini. Perdebatan ini pun akan terus berlanjut dalam the Clash of Civilizations, mungkin sampai akhir zaman.
*Dosen pada Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
*********
Republika.co.id