Red: Maman Sudiaman
Oleh : Ikhwanul Kiram Mashuri
REPUBLIKA.CO.ID/Garut News ( Senin, 02/01 – 2017 ), Anda mengambil paksa pekarangan tetangga. Lalu di atas pekarangan itu Anda bangun atau perluas rumah Anda. Sebuah keputusan pengadilan kemudian meminta Anda untuk menghentikan semua proses pembangunan itu lantaran menilai tindakan Anda ilegal. Kini Anda mengatakan keputusan pengadilan itu memalukan.
Jadi, siapa sebenarnya yang memalukan? Anda atau keputusan pengadilan? Ya, itulah Anda. Anda yang memalukan namun teriak orang lain yang memalukan. Anda yang mencuri tapi mengatakan orang lain si mencuri.
‘Anda’ yang saya maksud tertuju kepada Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri (PM) Israel. Juga konco-konconya. Pun mereka yang mendukung kolonialisme dan penjajahan sebagai hal yang legal. Lumrah.
Pada Jumat (23/12) pekan lalu, Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengutuk Israel dengan mengeluarkan Resolusi No 2334. Resolusi ini menegaskan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina yang didukinya adalah ilegal. Bertentangan dengan kehendak dan hukum internasional. Karena itu, DK meminta agar pembangunan permukiman itu dihentikan.
Dari 15 anggota DK PBB, 14 anggota menyetujui resolusi tersebut. Satu negara abstain. Yaitu Amerika Serikat (AS). Sikap AS ini tidak lazim. Biasanya AS selalu memveto setiap resolusi yang mereka anggap merugikan kepentingan negara Yahudi. Lantaran itu banyak pihak menyatakan Israel merupakan Negara Bagian AS yang ke-51.
Namun, kali ini berbeda. Presiden Barack Obama di akhir pemerintahannya tampaknya ingin memberi hadiah berharga bagi bangsa Palestina.
Ia ingin menghapus kesan sebagai Presiden AS paling lemah sepanjang masa, menyangkut kebijakan Si Paman Sam terhadap kawasan Timur Tengah. AS bersama Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina merupakan pemegang hak veto yang bisa memandulkan sebuah resolusi.
Selama dua periode bersinggasana di Gedung Putih, Presiden Obama memang dinilai banyak pihak ‘tidak berbuat apa-apa’ terkait dengan berbagai persoalan di Timur Tengah. Ia bahkan dituduh ikut terlibat – baik langsung ataupun tidak langsung — dengan apa yang terjadi di kawasan tersebut.
Lihatlah, di masa kepemimpin Obama, ISIS telah berhasil menguasai wilayah luas di Irak dan Suriah. Bahkan telah berkembang jadi kelompok teroris paling menakutkan. Yaman kacau. Libya berantakan. Suriah terjerumus dalam konflik yang berkepanjangan.
Kepemimpinan Obama yang lemah ini juga telah membuat Israel semakin leluasa mencengkeram wilayah Palestina yang mereka duduki. Puluhan ribu rumah bagi pemukiman Yahudi telah mereka bangun di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur. Tujuannya, menjadikan wilayah Palestina yang mereka ghosob (duduki) secara de facto sebagai wilayah mereka.
Itulah sebabnya Zionis Israel selalu menolak mentah-mentah apabila perundingan dengan Palestina mensyarakatkan penghentian pembangunan permukiman Yahudi. Sementara bagi Palestina, penghentian pembangunan pemukiman Yahudi merupakan syarat mutlak sebelum dimulai perundingan. Sebab, pemukiman Yahudi itu dibangun di atas wilayah milik Palestina yang telah diambil secara tidak sah oleh Israel.
Yang menyedihkan, Obama pun tidak mampu memaksa Israel duduk di meja perundingan. Selama dua periode Presiden Obama bertahta di Gedung Putih, diplomasi AS yang dimotori oleh Hillary Clinton dan kemudian John Kerry boleh dikata gagal total ketika menjadi fasilitator perundingan kedua negara.
Bagi Pelestina, solusi dua negara — Israel dan Palestina —bisa terwujud hanya apabila wilayah Palestina yang diduduki Israel dikembalikan. Wilayah itu meliputi Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur. Sebagai imbalannya, Palestina akan mengakui Negara Israel dan ikut menjamin keamanannya.
Pada perang Arab-Israel tahun 1967, Israel berhasil menduduki Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Tepi Barat, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan. Pada Perjanjian Camp David tahun 1978, Semenanjung Sinai dikembalikan ke Mesir. Wilayah sisanya, termasuk Dataran Tinggi Golan milik Suriah hingga kini masih diduduki Zionis Israel.
Selama ini sebagian besar negara-negara anggota PBB mendukung solusi dua negara — Israel berdampingan dengan Palestina — dengan wilayah Palestina meliputi Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Dan, meskipun Presiden Obama juga sepakat dengan solusi dua negara, namun AS selalu memveto semua resolusi DK PBB yang dianggap merugikan kepentingan Israel.
Menurut Menlu AS John Kerry, perubahan sikap negaranya yang kini abstain terhadap resolusi DK PBB adalah justru untuk menyelematkan proses perundingan damai Israel-Palestina.
Ia mengingatkan keamanan Israel dan proses perdamaian di Timur Tengah akan berbahaya bila tidak ada solusi dua negara — Israel-Palestina — yang hidup berdampingan sebagai negara merdeka. Karena itu, katanya, sikap abstain sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan yang dianut AS.
‘’Solusi dua negara adalah jalan satu-satunya untuk menjamin keberadaan Israel sebagai negara Yahudi yang hidup aman dan damai dengan tetangga-tetangga Arab,’’ katanya di Kemenlu AS di Washington pada Kamis lalu.
‘’Pembangunan pemukiman Yahudi sungguh akan merusak proses perdamaian dan justru akan membahayakan keamanan Israel itu sendiri.’’
Sayangnya, perubahan sikap AS ini sudah sangat terlambat. Presiden Obama sudah tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Beberapa hari lagi, tepatnya 20 Januari mendatang, ia sudah lengser keprabon. Ia akan digantikan oleh Donald Trump yang jauh hari diketahui sebagai pendukung fanatik Israel.
Simaklah pernyataannya ketika mengomentari sikap abstain AS terhadap resolusi DK PBB. ‘’Setelah 20 Januari nanti semuanya akan berubah. Tunggu tanggal mainnya,’’ katanya.
Lalu bagaimana tanggapan Israel terhadap perubahan AS tersebut? Benjamin Netanyahu, Sang PM, langsung marah. Ia menyalahkan Obama karena gagal melindungi Israel dari kejahatan mereka yang ia sebut sebagai ‘Geng PBB’. Ia mengatakan ada konspirasi jahat dari para anggota DK PBB.
‘’Ini memalukan. Kami menolak resolusi anti-Israel. Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan melawan,’’ katanya singkat.
Ya, inilah karakter asli Bani Israel yang diwakili Netanyahu. Mereka yang memalukan lantaran mengambil hak orang lain, namun teriak orang lain memalukan. Mereka yang jahat karena menyerang Palestina, namun mengatakan Palestina jahat karena membahayakan keamanan negara Israel.
Mereka menyatakan masyarakan internasional yang mendukung kemerdekaan bangsa Palestina sebagai geng mafia padahal merekalah mafiosonya. Ya, mereka adalah bangsa yang pandai membungkus rapi kejahatan, penipuan, dan kebohongannya.
Lantas bagaimana nasib resolusi DK PBB yang mengecam dan memenuntut pembekuan pembangunan pemukiman Yahudi tadi? Seperti resolusi-resolusi sebelumnya, Israel akan melawan kehendak masyarakat internasional yang diwakili oleh DK PBB itu.
Mereka akan terus membangun pemukiman Yahudi untuk memaksakan bahwa secara de facto tanah Palestina yang telah mereka ambil secara tidak sah adalah wilayahnya.
Apalagi Donald Trump telah berjanji setelah dilantik jadi Presiden AS pada 20 Januari mendatang akan mengevaluasi dan mengubah semua kebijakan yang merugikan Israel. Apalagi negara-negara di Timur Tengah yang menjadi tetangganya sedang tak berdaya karena dilanda berbagai konflik.
Lihatlah, yang mengajukan resolusi pun Selandia Baru, Malaysia, Venezuela, dan Sinegal. Mesir yang negara Arab justru menarik diri setelah dibujuk Donald Trump.
*********
Republika.co.id